Pada
tahun 2000-an sastra Indonesia didominasi oleh karya sastra yang mengangkat
sesuatu yang masih tabu untuk diperbincangkan secara vulgar. Pencetus karya
sastra ini berasal dari kalangan perempuan seperti Ayu Utami dan Djenar Maesa
Ayu. Ayu Utami pada waktu itu terkenal
dengan novelnya yang berjudul Larung (1998)
dan Saman (2001). Adapun Djenar Maesa Ayu berhasil mendapatkan
penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2003 untuk cerpen yang berjudul Waktu Nayla. Demikian pula dengan cerpen Menyusu Ayah yang juga mendapat
penghargaan sebagai cerpen terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan. Pada tahun
2004, kumpulan cerpennya yang berjudul Jangan
Main-main (dengan Kelaminmu) meraih penghargaan 5 besar Khatulistiwa
Literary Award. Hal tersebut menandai lahirnya mazhab sastra
baru pada tahun 2000-an yang disebut dengan sastra mazhab selangkangan. Mazhab ini menjadi sebuah genre baru dalam
sastra Indonesia yang muncul setelah gelombang besar reformasi membawa
perubahan politik di tanah air.
Selain
itu, pada tahun 2000-an terdapat beberapa pengarang laki-laki yang
memperkenalkan aliran sastra lain yang bertentangan dengan mazhab sastra yang
dibawa Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, yaitu sastra Islami. Karya sastra ini
merupakan cerita-cerita bernapaskan kehidupan Islami yang pertama kali
dipopulerkan oleh Habiburrahman El-Shirazy dengan novelnya yang berjudul Ayat-Ayat Cinta (2005). Selanjutnya
novel ini menjadi best seller dan
novel-novel pengarang lain yang terinspirasi oleh Habiburrahman El-Shirazy juga
banyak yang menjadi best seller.
Di
tengah-tengah popularitas kedua mazhab tersebut, pada tahun 2005 sastra
Indonesia diramaikan oleh novel Laskar
Pelangi karya Andrea Hirata. Pengarang ini tidak dikenal sebelumnya dan
novel ini merupakan karya sastra pertamanya.
Andrea Hirata mengangkat kisah perjuangan sepuluh orang anak miskin
Melayu Belitong untuk mendapatkan pendidikan dan berani memiliki cita-cita
luhur. Novel ini mewakili kehidupan
sosial dan budaya masyarakat Melayu yang tinggal di Pulau Belitong, salah satu pulau Indonesia yang tidak pernah
diangkat ke dalam karya sastra populer.
Perjuangan anak-anak miskin menempuh pendidikan, penggambaran
sosial-budaya Melayu, dan penyampaian cerita yang dikemas dalam bahasa bertabur
metafora yang cerdas menjadikan novel ini best
seller.
Andrea
Hirata adalah novelis Indonesia yang lahir dan besar di Pulau Belitong. Ia tidak dikenal sebelumnya, namun secara
mengejutkan langsung menulis tetralogi yang menjadi best seller di Indonesia
maupun di luar negeri. Andrea Hirata mempunyai gaya tersendiri dalam penciptaan
karyanya dengan gaya realis bertabur metafora yang berani, tidak biasa, tidak
terduga, dan amat memikat. Di dalam
novel-novelnya ia memadukan sains dengan sastra dan walau penyampaiannya
sederhana tetapi tidak mengurangi keindahan kata yang dirangkainya. Ia telah
menulis enam novel yang telah beredar secara internasional di bawah sebuah literary management di New York. Novel-novel tersebut adalah Laskar Pelangi (The Rainbow Trops), Sang
Pemimpi (The Dreamer), Edensor (Edensor), Maryamah Karpov (yang ia rencanakan edisi globalnya berjudul The Strange Rhythm), Padang Bulan, dan Cinta di Dalam Gelas (The
Field of the Moon).
Salah
satu novel Andrea Hirata yang terkenal adalah Laskar Pelangi. Novel Laskar
Pelangi merupakan novel pertama dari tetralogi fenomenal Laskar Pelangi. Novel ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 2005 dan menjadi novel best seller yang terjual 600.000
eksemplar.
Novel Laskar Pelangi ini menceritakan tentang
kehidupan sepuluh anak dari keluarga miskin yang bersekolah di SD Islam tertua
di salah satu pulau terkaya di Indonesia, SD Muhammadiyah Belitong. Mereka adalah Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A
Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan Harun, yang kemudian disebut Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah. Meskipun keadaan sekolah mereka berbanding
terbalik dengan keadaan SD PN Timah yang mewah dan memiliki murid dari kalangan
orang terpandang, namun di sekolah kumuh itu mereka dapat belajar dengan gigih
bersama guru mereka yang luar biasa, Bu Muslimah dan Pak Harfan yang telah
menanamkan budi pekerti mulia di samping ilmu pengetahuan untuk bekal meraih mimpi.
Novel
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata
tersebut akan dikaji dengan teori sosiologi sastra Swingewood. Dalam buku The Sociology of Literature, Swingewood
(1972:11-12) memberikan batasan mengenai pengertian sosiologi dan sastra.
Menurut Swingewood: Sociology is
essentially the scientific, objective study of man in society, the study of
social institutions and of social processes, artinya sosiologi adalah
pendekatan ilmiah yang menekankan analisis secara objektif tentang manusia
dalam masyarakat, tentang lembaga kemasyarakatan, dan proses-proses sosial.
Selanjutnya, mengenai sastra, Swingewood menyatakan literature too is pre-eminently concerned with man’s social world, his
adaptation to it, and his desire to change itu, artinya sastra juga terkait
dengan dunia kemasyarakatan itu dan keinginannya melakukan perubahan terhadap dunia kemasyarakatan.
Berdasarkan pendapat Swingewood di
atas, diperoleh gambaran bahwa antara sosiologi dan sastra memiliki persamaan
dalam hal objek atau sasran yang dibicarakan. Objek atau sasaran yang dimaksud
adalah manusia dalam masyarakat serta segala aspek yang berkaitan dengan
masyarakat itu. Hubungan sosiologi dengan sastra, menurut Swingewood (1972:31)
bersifat dialektis; literature is not
only the effect of social causes but also the cause of social effects (sastra
tidak hanya memberi dampak pada masyarakat tetapi juga menerima dampak dari
masyarakat).
Dalam konsep sosiologi sastra
Swingewood, terdapat tiga perspektif yang dapat digunakan untuk melihat
fenomena sosial dalam karya sastra. Ketiga perspektif itu dapat diuraikan
sebagai berikut.
1.
The most popular perspective adopts the
documentary aspect of literature, arguing that is provides a mirror to the age,
artinya perspektif yang
paling popular mengambil aspek dokumenter sastra yang memberikan perhatian pada
cermin zaman (Swingewood dan Laurenson, 1972:13). Perspektif ini memfokuskan
perhatian pada teks sastra sebagai objek kajian dengan asumsi dasarnya adalah
bahwa karya sastra merupakan cerminan zaman.
2.
The second approach to literary sociology
moves aways from the amphasis on the work of literature it self to the
production side, and especially to the social situation of the writer, artinya perspektif kedua tentang
sosiologi sastra mengambil cara lain dengan memberikan penekanan pada bagian
produksi dan lebih khusus pada situasi sosial penulis (Swingewood dan
Laurenson, 1972:17). Pada perspektif kedua ini fokus penelitian diarahkan pada
pengarang sebagai pencipta karya sastra. Perspektif kedua ini bertolak dari
asumsi dasar bahwa karya sastra merupakan cermin situasi sosial penulis.
3.
A third perspective, one demanding a high
level of skills, attempts to trace the ways in which a work of literature is
actually received by a particular society at a specific historical moment, artinya perspektif ketiga menuntut satu
keahlian yang lebih tinggi, mencoba melacak bagaimana suatu karya sastra
benar-benar diterima oleh masyarakat tertentu pada suatu momen sejarah tertentu
(Swingewood dan Laurenson, 1972:21). Perspektif ketiga ini memfokuskan
perhatian pada penerimaan masyarakat terhadap karya sastra terkait dengan momen
sejarah. Asumsi dasarnya adalah karya sastra sebagai refleksi peristiwa
sejarah.
Ketiga
perspektif tersebut dapat diterapkan bersama-sama dan dapat pula dipilih
sebagian untuk dijadikan alat analisis. Pada pembasan ini, dipilih perspektif
pertama yaitu karya sastra sebagai dokumen sosial budaya dan cerminan zaman.
Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata
memiliki latar waktu sekitar tahun 1970-an. Keadaan sosial-budaya yang terdapat
di dalam novel ini merupakan cerminan sosial yang terjadi pada tahun itu. Hal
ini dapat dikaitkan dengan keberadaan Perusahaan Negara (PN) Timah yang menjadi
salah satu latar tempat dan latar sosial masyarakat Gedong (kompleks para
petinggi PN) dalam novel ini. Hal
tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Belitong
dalam batas kuasa eksklusi PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang
makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau
Belitung yng termasyhur di seluruh negeri Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geograi atau buku
Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya
jalan raya, jembatan, pelabuhan, real
estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik,
rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa padang golf, kelengkapan
sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong—sebuah pulau
kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. (LP:39)
Pada
kutipan tersebut dijelaskan PN Timah berada di Pulau Belitong dengan berbagai
fasilitas mewah di dalamnya. Perusahaan timah tersebut berjaya sekitar tahun 70-an.
Hal-hal yang lebih menguatkan latar waktu terjadi pada akhir tahun 70-an
juga terdapat dalam kutipan berikut.
……………………………………………………………………….
Keadaan mendesak sebab malam
itu ada pertandingan film badminton All England antara Svend Pri dan Iie
Sumirat. (LP : 153)
Pada
kutipan di atas terdapat ciri-ciri yang mendeskripsikan latar waktu tahun
70-an, yaitu pertandingan badminton All England antara Svend Pri dan Iie
Sumirat yang terjadi pada tahun 1979.
Novel Laskar Pelangi mengangkat kisah
kehidupan masyarakat Melayu Belitong yang miskin dan berada di bawah hegemoni
pertambangan timah besar, PN Timah. Latar perkampungan Melayu yang diceritakan
dalam novel ini adalah Gantong, desa pesisir yang hanya memiliki satu Sekolah
Dasar berbasis Islam yang keadaannya sama memprihatinkan dengan kampungnya.
Jarang ada orang tua yang mau menyekolahkan anaknya di sana, bahkan sekolah itu
akan ditutup apabila tidak bisa memenuhi kuota murid sepuluh orang.
Untunglah
pada saat itu SD Muhammadiyah Gantong bisa memenuhi kuota dengan masuknya
Harun, anak keterbelakangan mental yang menjadi murid ke sepuluh saat
pendaftaran murid baru. Sekolah itu sangat miskin dan tidak mendapat perhatian
dari pemerintah, salah satu faktornya mungkin karena sekolah itu tidak
menyumbangkan prestasi apa-apa, apalagi kalau dibandingkan dengan SD PN Timah
yang kaya dan selalu membanggakan Belitong. Atapnya hampir roboh karena tiang
penyangganya sudah lapuk dan bangunan itu lebih layak disebut gudang kopra
daripada sekolah. Pada saat mereka baru
sekolah di SD miskin itu, mereka sering mengeluh karena sekolah itu tidak
sebagus sekolah-sekolah lain yang tidak pernah bocor pada musim hujan.
Deskripstif SD Muhammadiyah Gantong Belitong ini terdapat pada kutipan berikut.
Jika
dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang
tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat
mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini
menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak
simetris dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci? (LP : 19)
Salah
satu murid SD Muhammadiyah Gantong bernama Lintang, murid yang paling jauh
rumahnya. Ia adalah salah satu potret kehidupan masyarakat miskin Melayu pada
zaman PN Timah masih Berjaya. Setiap hari ia harus mengayuh sepeda puluhan
kilometer untuk bersekolah. Ia begitu
pantang menyerah dan mencintai sekolah meskipun di tengah perjalanan harus berhadapan
dengan buaya ganas. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.
Lintang
memang tak memiliki pengalaman emosional dengan Bodenga seperti yang aku alami,
tapi bukan baru sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke sekolah. Dapat
dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan,
namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi
ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah
berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa
ngeri membayangkan perjalanannya. (LP : 93)
Kehidupan
Lintang sangat miskin. Ia tinggal di rumah kumuh di pesisir bersama empat belas
anggota keluarganya. Mereka tidak bekerja dan sepenuhnya menggantungkan hidup
kepada ayah Lintang. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.
Selain
empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua orang adik laki-laki ayah
Lintang, yaitu seorang pria muda yang kerjanya hanya melamun saja sepanjang
hari karena anak terganggu jiwanya dan seorang bujang lapuk yang tak dapat
bekerja keras karena menderita burut akibat persoalan kandung kemih. Maka
ditambah lima adik perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuanya,
seluruhnya berjumlah empat belas orang. Mereka hidup bersama, berdesak-desakan
di dalam rumah sempit memanjang itu. (LP : 100)
Lintang mempunyai keyakinan, agar bisa merubah nasib di
masa depan adalah dengan cara bersekolah supaya menjadi cerdas. Apabila
seseorang berpendidikan, maka akan memperoleh peluang untuk memasuki dunia
kerja yang penuh persaingan dan dengan itu dapat meningkatkan status sosial
serta mengeluarkan keluarganya dari kemiskinan yang berkepanjangan. Oleh karena
itu Lintang memiliki mimpi dan semangat yang besar, semangat yang kemudian
ditularkan kepada tokoh Aku (Ikal).
Di sisi
lain SD Muhammadiyah yang berdiri di tengah perkampungan masyarakat Melayu
miskin, terdapat Gedong yaitu kawasan
mewah milik PN Timah yang dijaga ketat oleh Polsus dan aturan khas zaman
kolonial, dilarang masuk bagi yang tidak
memiliki hak. Orang-orang di luar PN
Timah dilarang masuk dan menggunakan fasilitas yang ada di dalam tembok pemisah
antara Gedong dan masyarakat luar Gedong.
Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
Gedong
lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi
Khusus) Timah. Jika ada yang lancing masuk maka koboi-koboi tengik itu akan
menyergap, menginterogasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan
sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang
bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal kompeni. (LP : 43)
Penggambaran
dua sisi kehidupan yang berbeda dalam
novel ini begitu kontras, antara masyarakat miskin Melayu dan
orang-orang Gedong yang mayoritas bukan Melayu (pendatang dari Jawa, dan
sebagainya) sekaligus penguasa PN Timah. Keberadaan orang-orang Non-Melayu yang
justru menguasai perekonomian di Belitong dengan perusahaan timah besar itu
juga mencerminkan tingkat pendidikan dan kelas sosial mereka. Orang yang
berpendidikan tinggi menguasai perekonomian dan memiliki kelas sosial tinggi
pula. Orang yang tidak menguasai perekonomian dan produksi, dalam novel ini
masyarakat Melayu Belitong, termasuk dalam kelas sosial rendah karena mereka
tidak berpendidikan tinggi.
Apabila
dilihat secara umum dan menyeluruh, masyarakat Melayu Belitong berada pada
kelas sosial rendah apabila dibandingkan dengan masyarakat Gedong. Tetapi di
dalam masyarakat Melayu Belitong sendiri memiliki tingkatan kelas sosial
sendiri, yaitu tingkatan atas pengakuan masyarakat yang ada secara alami. Hal
ini berupa gelar pada nama (garis keturunan), pekerjaan, dan kedudukan dalam
masyarakat. Misalnya, Pak Harfan (Kepala Sekolah SD Muhammadiyah) memiliki nama
depan (gelar) Ki Agus yang merupakan garis keturunan Kerajaan Belitong. Ia
memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat Belitong karena gelar dan
jabatannya yang mulia sebagai kepala sekolah sehingga ia amat dihormati dan
diteladani. Status sosial dalam masyarakat ini tidak hanya ditentukan oleh
hal-hal tadi, namun budi pekerti pun berperan penting.
K.A.
pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A mengalir dalam garis
laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang
amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan
telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa
pun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun
palawija di pekarangan rumahnya. (LP : 20)
Sedangkan
pada masyarakat Gedong, kelas sosial ditentukan oleh bentuk legitimasi status
dengan mengkotak-kotakkan wilayah dan kekuasaan. Salah satunya, hal ini
ditandai dengan adanya larangan-larangan yang ditentukan oleh Gedong terhadap
“yang tidak memiliki hak” (non-Gedong) agar tidak bercampur dengan wilayah
kehidupan mereka. Masyarakat non-Gedong adalah The Other dan mereka harus dibedakan posisinya dengan Gedong. Keadaan
seperti ini menganut pemikiran kompeni dan sangat kolonial. Jika Belanda
memandang Indonesia adalah The Other,
alien, sesuatu yang rendah (padahal Indonesia adalah pribumi), dalam tatanan
Belitong tahun 1970-an The Other adalah
Melayu Belitong yang pada kenyataannya merupakan pribumi tetapi yang berkuasa
adalah orang-orang pendatang.
Potret
kehidupan glamor kelas elite Belitong
tercermin pada kehidupan tokoh Floriana, anak Kepala Kapal Keruk PN Timah. Ia
tinggal di dalam rumah mewah komplek perumahan eksklusif Gedong dan dilimpahi
fasilitas lengkap yang tidak pernah dirasakan masyarakat miskin Melayu
Belitong. Flo anak yang tomboy. Orangtuanya berusaha menjadikan Flo perempuan
sejati, salah satunya dengan mendatangkan guru privat untuk mengajarinya
bermain piano tetapi usahanya tidak berhasil.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.
Namun,
selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar lamat-lamat denting piano
dari salah satu kastil Victoria yang tertutup rapat berpilar-pilar itu.
Floriana atau Flo yang tomboi, salah seorang siswa sekolah PN, sedang les
piano. Guru privatnya sangat bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk
tanpa minat. Kedua tangannya menopang wajah murungnya sambil menguap
berulang-ulang di samping sebuah instrumen megah : grand piano merk Steinway and
sons yang hitam, dingin, dan berkilauan. Wajah Flo seperti kucing kebanyakan tidur dan
bangun magrib-magrib. (LP : 46)
Kehidupan
Flo berbanding terbalik dengan sepuluh murid SD Muhammadiyah, seperti tokoh Aku
(Ikal) yang hanya diberi sepatu bekas oleh ayahnya yang kuli PN Timah pada hari
pertama menjadi murid SD dan Lintang yang harus menempuh perjalanan puluhan
kilometer demi pendidikan. Pada waktu yang bersamaan dengan pendaftaran murid
SD Muhammadiyah, SD PN Timah pun tengah merayakan pendaftaran murid baru.
Suasananya sangat berbeda dengan di SD Muhammadiyah yang dilanda kekhawatiran
akan ditutup jika murid barunya tidak berjumlah sepuluh. Pendaftaran murid baru
di SD PN begitu meriah dan bergelimang kemewahan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan
berikut.
Pendaftaran
hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan penuh sukacita. Puluhan mobil
mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar. Ada
bazaar dan pertunjukan seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir
sebanyak 40 siswa dan palingg tidak ada 4 kelas untuk tiap-tiap tingkat. SD PN
tidak akan membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang
kekurangan murid karena sekolah itu memiliki sumber daya yang melimpah ruah
untuk mengakomodasi barapa pun jumlah siswa baru. Lebih dari itu, bersekolah di
PN adalah sebuah kehormatan, hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ
sudi dilungsurkan ke sekolah lain. (LP : 60)
Letak SD
Muhammadiyah dan SD PN Timah berdekatan, namun dari segi fasilitas dan kualitas
sangat berbeda. Hal ini menunjukan siapa masuk kelompok siapa dan siapa
disokong siapa. SD PN adalah milik PN Timah, murid dan gurunya pun merupakan
orang-orang yang punya kelas sosial tinggi di lingkungan PN, sehingga fasilitas
pun melimpah dan mewah karena untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. SD
Muhammadiyah bukan termasuk golongan PN, sehingga masalah fasilitas dan
kualitas bukan tanggungjawab PN karena orang-orang di lingkungan SD
Muhammadiyah bukan orang PN.
Kehidupan
yang tergambar pada kutipan-kutipan di atas sangat kontras dengan keadaan
perkampungan Melayu. Di sisi luar tembok pembatas Gedong terdapat perkampungan
kumuh orang Melayu yang menjadi latar sosial novel ini. Dalam kehidupan mereka
tidak mengenal hal-hal semacam grand
piano Steinway and sons dan gaya Victoria.
Anak-anak mereka banyak karena tidak mempunyai cukup sarana hiburan
memadai layaknya di Gedong. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.
Hanya
beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti
langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika
diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan
revolusi indrustri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas
Melayu Belitong yang jika belum punya anak enam belum berhenti beranak pinak.
Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai
sehingga jika malam tiba mereka tak punya kegiatan lain selain membuat
anak-anak itu.
(LP : 50)
Kehidupan orang-orang dewasa di perkampungan itu pun setiap harinya
begitu monoton. Ribuan orang berusia
produktif berangkat ke tempat kerja masing-masing begitu kantor pusat PN Timah
membunyikan sirine tepat pada pukul 06.50.
Rutinitas orang pinggiran itu terdapat dalam kutipan berikut.
Keseharian
orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak sontak
berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10.
Sirine itu memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti peringatan
serangan Jepang dalam pengeboman Pearl
Harbour.
Demi
mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung, jalan-jalan kecil, sudut-sudut
kampung, dan gang-gang sempit bermunculanlah para kuli PN bertopi kuning
membanjiri jalan raya. Mereka berdesakan, terburu-buru mengayuh sepeda dalam
rombongan besar atau berjalan kaki, karena sepuluh menit lagi jam kerja
dimulai. Jumlah mereka ribuan. (LP : 52-53)
Di luar Gedong, penduduk Belitong
terdiri atas beragam etnis, bukan hanya Melayu. Ada orang Tionghoa dan
suku-suku lain seperti orang pulau bersarung, dan orang-orang Sawang. Mereka
hidup berdampingan dengan rukun meskipun agama, kepercayaan, dan gaya hidup
mereka berbeda-beda. Misalnya, dalam upacara-upacara keagamaan, terutama
perayaan orang Tionghoa yang terbilang mewah dan meriah, dihadiri dan
dimeriahkan oleh masyarakat non-Tionghoa yang tentunya berbeda keyakinan
(Melayu beragama Islam, orang Sawang dan bersarung menganut animisme, dll).
Dalam upacara keagamaan tersebut mereka melebur menjadi satu, tidak terkotak-kotakkan
oleh garis keturunan dan ras, sejatinya mereka adalah makhluk ciptaan Tuhan.
Upacara itu menjadi sarana untuk beribadah (bagi penganut agama itu),
berinteraksi, mencari rezeki, dan hiburan.
Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara semarak
di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul. Tak jarang anak-anaknya yang merantau
pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual
keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga
menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat
disebut sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung
kami: orang Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang
berkumpul. (LP : 259)
Masyarakat
Melayu Belitong menganut agama Islam. Penganut Islam taat, seperti Pak Harfan,
Bu Muslimah, ibunya Ikal, mereka sangat menentang hal-hal pembuat musyrik,
seperti perdukunan, ramalan, sihir, mantera, dan sebagainya, seperti halnya
penganut Islam taat di dunia. Namun ada pula segelintir penganut Islam yang
tidak begitu taat dan goyah, yang percaya pada hal-hal gaib mengarah pada
musyrik. Orang Melayu Belitong tipe ini percaya pada kekeramatan, kesaktian,
perdukunan, dan mantera-mantera sakti. Mereka bahkan rela berkorban besar demi
hal itu. Sebagai bukti kepercayaan mereka terhadap hal-hal gaib, terbentuklah
Societeit de Limpai yang digadang-gadang oleh Mahar, salah seorang murid SD
Muhammadiyah yang nyentrik dan banyak terpengaruh oleh pemikiran mistis
Floriana. Salah satunya mereka percaya terhadap tuah Tuk Bayan Tula, dukun
sakti mandraguna di Pulau Lanun yang terkenal sangat angker.
Kini Tuk
menyepi di pulau tak berpenghuni. Nama Tuk Bayan Tula sendiri adalah nama yang
menciutkan nyali. Tuk adalah nama julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut
orang sakti di Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang
selalu memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula, bahasa Belitong
asli, artinya kualat, mungkin jika kurang ajar dengan beliau orang bisa
langsung kualat. (LP : 313)
Anggota
Societeit de Limpai pun setuju dengan rencana itu karena mereka ingin melihat wajah
dukun sakti yang diidolakan itu. Mereka pun rela mengorbankan harta untuk
membiayai ekspedisi besar ke Pulau Lanun itu. Harta paling berharga satu-satunya pun rela
digadaikan dan dijual. Perjalanan mereka
pun menuntut pengorbanan yang lebih besar daripada itu dan sangat mengancam
keselamatan. Di tengah laut kapal mereka
dihantam pusaran angin dan ombak ganas. Hal tersebut terdapat pada kutipan
berikut.
Akibatnya
Mahar rela menggadaikan sepeda warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin,
gelang, dan merelakan tabungan uang saku selama dua bulan yang ada dalam tas
rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu sebuah radio
transistor dua band merk Philip, si
pengangguran menggaruk-garuk sampah untuk tambahan ongkos, sang mahasiswa drop out meminjam uang pada bapaknya,
dan si pemain organ tunggal menggadaikan electone
Yamaha PSR sumber nafkahnya.
Adapun
orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas memecahkan celengan ayam jago
disaksikan tangisan anak-anaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam, sang pensiunan syah
bandar menggadaikan lemari kaca yang digotong empat orang—dan menimbulkan keributan
besar dengan istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku
dibeli murah oleh Tuan Pos. (LP : 406)
Kepercayaan terhadap mantera sakti dan perdukunan
dilatabelakangi oleh keinginan mencapai suatu keinginan dengan cara pintas yang
mudah. Siswa yang ingin nilainya bagus, orang yang banting tulang berusaha
mencari nafkah tetapi tidak kunjung berhasil, kemiskinan yang terus melilit,
menjadi faktor-faktor paling strategis yang mendorong hasrat manusia ingin
mencoba jalan pintas sarat akan janji-janji menggiurkan bernama perdukunan.
Kepercayaan seperti ini tumbuh subur di tengah masyarakat kelas sosial rendah.
Tetapi kesaktian perdukunan tidak bisa mengelakkan realita. Mereka tetap miskin
dan harta yang ada malah ludes untuk biaya dukun. Tetapi dalam novel ini hal
tersebut menjadi semacam satire, dimana dukun pujaan Societeit de Limpai, Tuk
Bayan Tula, menuliskan mantera amat sakti yang intinya apabila ingin pintar
maka harus belajar. “Mantera” tersebut menjadi sindiran sekaligus kritik terhadap
orang-orang yang kurang berilmu dan miskin tetapi tidak mau berusaha dan
memilih jalan pintas yang salah untuk mencapai keinginan. Bukan hanya kritik
terhadap masyarakat tertentu, tetapi untuk karakter bangsa itu sendiri
(meskipun tidak semua begitu).
Salah
satu hal yang tidak bisa dihindari dan dihapus mantera sakti mandraguna adalah
garis takdir seseorang, yang dalam novel ini dialami oleh Lintang. Setelah
berhari-hari tidak sekolah, datanglah sepucuk surat dari Lintang untuk
guru-guru SD Muhammadiyah dan teman-teman Laskar Pelangi. Surat singkat itu
mengabarkan bahwa ayah Lintang telah meninggal. Maksud kalimat besok aku akan ke sekolah adalah besok
ia akan datang ke sekolah untuk perpisahan dengan teman-teman dan gurunya. Lintang
tidak mungkin melanjutkan sekolah karena ia adalah anak laki-laki tertua di
keluarganya sebagai pengganti ayahnya yang diandalkan sebagai tulang
punggung. Hal tersebut terdapat pada
kutipan berikut.
Seorang
anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus
menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak
berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. la
sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang,
karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara
angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya
terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh
cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir
ini, hari ini terkubur dalam ironi. (LP : 430)
Anak
sejenius Lintang harus putus sekolah karena ayahnya meninggal dunia dan
keluarganya yang lemah tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidup apabila ia
memaksakan diri melanjutkan sekolah. Padahal ia ingin mengejar cita-cita
luhurnya yaitu menjadi matematikawan, satu-satunya impian yang sangat asing
bagi orang Melayu miskin pada zaman itu.
Teman-temannya yang telah belajar selama sembilan tahun bersamanya
melepas kepergiannya dengan berat hati dan penuh kesedihan.
Di dalam
hati Ikal, ia menyesali dirinya yang tidak bisa menolong teman jeniusnya itu
karena keluarganya pun miskin. Ia pun membenci penduduk Gedong yang selalu
berpesta pora sementara di balik tembok feodal yang mengkotak-kotakkan
kesempatan itu anak Melayu miskin secemerlang Lintang harus mengubur
cita-citanya karena kenyataan pahit yang dialaminya. Hal tersebut terdapat pada
kutipan berikut.
Inilah
kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini, hari yang
membuat gamang seorang laki-laki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu
akhirnya terjadi juga. Lintang, sang bunga meriam ini tak 'kan lagi melontarkan
tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun.
Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling, karena
kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini tidak adil. Aku benci
pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang
tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan
orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung
hidup. (LP : 432)
Tidak
semua murid SD Muhammadiyah berakhir seperti Lintang. Ada kejutan indah
diberikan oleh Syahdan, orang yang dulu pernah bersikeras ingin menjadi aktor. Setelah
bosan hanya menjadi aktor figuran di Jakarta, ia iseng-iseng kursus
komputer. Mulai saat itulah ia
mengetahui bakat sesungguhnya, yaitu programming
komputer. Setelah bekerja sebagai network designer ia mendapat beasiswa
kursus singkat di Jepang dan kini ia bekerja di perusahaan multinasional
terkemuka di Tangerang dengan posisi sebagai Information Technology Manager. Ia membuktikan bahwa status sosial,
kedudukan, dan hal-hal semacam itu dapat diraih oleh pendidikan dan usaha yang
sungguh-sungguh. Seseorang yang ingin sukses, bukan mengandalkan cara instan
mantera sakti perdukunan, namun oleh usaha yang pantang menyerah.
Sayangnya
sampai hampir tiga tahun berikutnya ia masih saja seorang aktor figuran. Lalu
ia bosan berperan sebagai figuran makhluk-makhluk aneh: tuyul, setan, dan
jin-jin kecil karena tubuhnya yang mini dan berkulit gelap. Ia juga bosan
menjadi pesuruh ini itu di sebuah grup sandiwara tradisional kecil yang sering
manggung di pinggiran Jakarta.
………………………………………………………………………..
Di
tengah kemelaratannya Syahdan yang malang iseng-iseng kursus komputer dan di
tengah perjuangan mendapatkan kursus itu ia nyaris menggelandang di Jakarta.
Di luar
dugaan, orang lain umumnya mengetahui bakatnya ketika masih belia tapi Syahdan
baru tahu kalau ia berbakat mengutak-atik program komputer justru ketika sudah
dewasa. Dengan cepat ia menguasai berbagai bahasa pemrograman dan dalam waktu
singkat ia sudah menjadi network designer.
Tahun berikutnya sangat mengejutkan. Ia mendapat beasiswa shortcourse di bidang computer
network di Kyoto University, Jepang. Di sana ia berhasil mencapai
kualifikasi keahliannya dan menjadi salah satu dari segelintir orang Indonesia
yang memiliki sertifikat Sisco Expert Network. Ia kembali ke Indonesia dan dua
tahun kemudian Syahdan, pria liliput putra orang Melayu, nelayan, jebolan
sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai Information
Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor
pusat di Tangerang. Dari sudut pandang material Syahdan adalah anggota Laskar
Pelangi yang paling sukses. Ia yang dulu selalu menjadi penerima perintah,
tukang angkat-angkat, dan tak becus terhadap sesuatu yang berbau teknik, kini
memimpin divisi inovasi teknologi dengan ratusan anak buah. (LP : 479)
Kutipan
di atas menggambarkan perjuangan Syahdan yang pantang menyerah. Orang yang dulu
dianggap tidak berbakat apapun kini dari segi material ia paling sukses di
Laskar Pelangi. Pada saat sebagian besar anggota Laskar Pelangi yang dulu
menempuh pendidikan di sekolah paling miskin di Belitong telah sukses, lain
halnya dengan PN Timah. Perusahaan timah raksasa penguasa Belitong yang
menciptakan kasta sosial di tanah itu ditutup karena pada tahun 1987 harga
timah dunia merosot. Hal tersebut
terdapat pada kutipan berikut.
Pada
tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya
5.000 USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas
produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK. (LP : 481)
Orang-orang
PN Timah pun nasibnya berbanding lurus dengan perusahaannya. Mereka yang dulu hidup penuh kenikmatan dalam
gelimang kemewahan harus merasakan kemelaratan. Anak-anak mereka yang masih
sekolah di PN dilungsurkan ke sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung
karena sekolah PN juga dibubarkan.
Yang
terpukul knock out tentu saja
orang-orang staf. Tidak hanya karena secara mendadak kehilangan jabatan dan
hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik
terorganisasi yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem.
(LP : 485)
Sekolah-sekolah
PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong yang termangu-mangu sebagai jejak
feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok menjadi lokasi shooting acara
misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke sekolah-sekolah
negeri atau sekolah kampung. (LP : 484)
Setelah
PN Timah runtuh, masyarakat Belitong mendulang timah dengan cara alamiah. Hasil
produksinya ternyata lebih besar daripada PN Timah yang menggunakan 16 buah
kapal keruk dan didukung oleh teknologi canggih. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Saat ini
diperkirakan tak kurang dari 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong.
Mereka menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua
tangannya untuk memisahkan bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian
seperti tarzan namun menghasilkan 15.000 ton timah per tahun. Jumlah itu lebih
tinggi dari produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk, tambang-tambang
besar, dan open pit mining , serta
dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti kegagalan metanarasi kapitalisme.
(LP : 486)
The most popular perspective adopts the
documentary aspect of literature, arguing that is provides a mirror to the age,
artinya perspektif yang
paling populer mengambil aspek dokumenter sastra yang memberikan perhatian pada
cermin zaman (Swingewood dan Laurenson, 1972:13). Novel Laskar Pelangi merupakan cermin zaman dari kehidupan Andrea Hirata
pada masa kecil, yaitu pada tahun 1970-an ketika PN Timah berjaya. Novel ini
mengangkat kehidupan sosial masyarakat Belitong yang multietnis, sarat budaya,
yang terbingkai dalam kisah perjuangan pendidikan SD Muhammadiyah dengan
sepuluh murid dan dua orang gurunya yang luar biasa. Cerita tersebut sekaligus
dilatarbelakangi oleh kejayaan PN Timah hingga perusahaan tambang besar itu
gulung tikar yang mengakibatkan chaos pada
masyarakat Gedong. Novel ini bukan sekadar
cerita sepuluh orang anak yang terhimpun dalam nama Laskar Pelangi, namun sebagai kritik, satire, dan mengandung pesan
berupa harapan, mimpi, dan aspirasi, terutama dalam bidang pendidikan.
Dalam
kaitannya dengan persoalan itu, Swingewood menyatakan bahwa karya sastra yang
dihasilkan oleh pengarang besar mengandung kecemasan, harapan, dan aspirasi
masyarakat. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dijadikan alat untuk mengukur
perilaku dan nilai-nilai yang dirumuskan dan yang diwujudkan dalam masyarakat.
Sastra selalu mencerminkan norma dan sikap sosial. Nilai-nilai yang tercermin
dalam sastra adalah nilai yang diniatkan oleh penulis (Swingewood dan
Laurenson, 1972:15).
DAFTAR
PUSTAKA
Hirata,
Andrea. 2010. Laskar Pelangi.
Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Swingewood,
Alan dan Diana Laurenson. 1972. Sociology
of Literature. London: Paladin