Hutan
kawasan kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) di
lereng Gunung Semeru atau tepatnya di Gunung Kepolo, Desa Ranu Pani Kecamatan
Senduro Kabupaten Lumajang Jawa Timur terbakar. Kepala Bidang TNBTS Wilayah II
Lumajang, Anggoro Dwi Sujiharto mengatakan, kebakaran hutan di lereng Gunung
Semeru terlihat sejak (11/10) malam. Namun sebagian titik api hingga Rabu sore
belum bisa dipadamkan. Luas kebakaran hutan diprediksi mencapai 10-20 ha, namun
lokasinya sulit dijangkau oleh petugas. Demikian berita yang dikabarkan Surya dalam rubrik berita terkini Jatim
Raya pada hari Rabu tanggal 12 Oktober 2011.
Penyebab kebakaran belum diketahui
secara pasti, namun diprediksi akibat ulah manusia baik yang disengaja maupun
tidak disengaja. Kebakaran hutan yang disebabkan kondisi alam presentasinya 1%,
namun akibat ulah manusia mencapai 99%. Musim kemarau dan vegetasi hutan yang dipenuhi
dengan tanaman cemara memudahkan terbakar apabila ada nyala api yang merambat
ke kawasan tersebut seperti punting rokok atau sisa api unggun yang sempurna
dipadamkan karena masih ada bara api.
Selama bulan September-Oktober
diberitakan terjadi tiga kali kebakaran hutan yaitu di Gunung Sumbing dan
Gunung Sindoro di Jawa Tengah pada bulan September serta Gunung Semeru di Jawa
Timur pada bulan Oktober. Menurut informasi yang dirangkum dari berbagai
sumber, kebakaran hutan gunung tersebut diduga kuat karena kelalaian manusia.
Melihat fenomena seperti itu,
siapakah pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan gunung
tersebut?
Gunung Semeru adalah gunung berapi
tertinggi di Pulau Jawa dengan puncaknya Mahameru yang berketinggian 3.676 mdpl
(meter di atas permukaan laut). Kawah di puncak Gunung Semeru dikenal dengan
nama Jonggring Seloko yang aktif mengeluarkan wedhus gembel setiap 15-30 menit sekali. Gunung ini terletak di
antara wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang dengan posisi geografis 8º06’LS
dan 120º55’BT. Gunung Semeru memiliki pemandangan yang luar biasa indah
sehingga menjadi tujuan favorit pendaki lokal maupun mancanegara.
Karakteristik Gunung Semeru sama
halnya dengan keadaan alam gunung-gunung di Jawa timur pada umumnya.
Vegetasinya didominasi oleh savanna (padang rumput), hutan cemara, dan
heterogen. Pendakian Gunung Semeru biasanya dibuka pada bulan Juni-Oktober atau
pada musim kemarau. Bulan November-Mei biasanya ditutup karena pada musim hujan
sering terjadi longsor di jalur pendakian, khususnya jalur antara Arcopodo
(2.900 mdpl)-Puncak Mahameru, dan badai yang mengancam keselamatan pendaki.
Pada musim kemarau kondisi vegetasi
Gunung Semeru mengalami kekeringan. Sehingga dengan adanya gesekan vegetasi
sedikitpun akan mudah terbakar. Hal tersebut didukung pula oleh hembusan angin
yang relatif kencang. Apalagi keadaan mudan di Gunung Semeru relatif landai dan
luas sehingga hembusan angin lebih kuat dan dapat mempercepat penyebaran api.
Oleh karena itu, kebakaran yang melanda Gunung Semeru lebih sering terjadi di wilayah
yang landai daripada di wilayah yang terjal yaitu wilayah Watu Rejeng (±2.300
mdpl), Ranu Kumbolo (±2.400 mdpl), savanna Oro-Oro Ombo, dan Cemoro Kandang
yang termasuk ke dalam gugusan Gunung Kepolo (3.098 mdpl).
Musim
kemarau merupakan saat yang paling baik untuk mendaki Gunung Semeru. Resiko
terkena longsoran jalur pendakian dan badai relatif rendah dibandingkan pada
musim hujan, meski suhu lebih ekstrim. Suhu pada musim kemarau dapat mencapai
0º pada malam hari dan membentuk kristal-kristal es.
Beraktivitas
di tempat yang dingin merangsang manusia untuk menghangatkan diri. Tak
terkecuali saat mendaki gunung. Sehingga ada sebuah ungkapan bahwa camping atau mendaki gunung tanpa api unggun rasanya
kurang lengkap. Dengan api unggun dapat menghangatkan suhu di sekitar
perkemahan dan memantik keceriaan di alam bebas. Berdiang sambil minum kopi
bersama kawan-kawan tentunya merupakan kenikmatan yang tiada tara.
Namun
aktivitas menyenangkan tersebut dapat membahayakan lingkungan jika kita lalai.
Seperti yang sering saya lihat di lapangan, selalu saja ada api unggun yang
tidak dimatikan dengan sempurna. Meskipun hanya asap yang tersisa, dengan
didukung oleh angin yang kencang api tersebut akan kembali membesar dan melalap
apa saja yang ada di sekitarnya. Apalagi vegetasi gunung tersebut dalam keadaan
kekeringan.
Selain
api unggun, sebagian besar pendaki gunung adalah perokok. Rokok, meski nyalanya
terlihat sepele, hanya bara api pada ujung lintingan temakau berdiameter 0,5 cm
dapat menimbulkan masalah besar. Membujang punting rokok memang terlihat remeh.
Tapia pa yang akan terjadi jika punting punting rokok yang masih menyala itu
dibuang di atas semak-semak kering? Anda tentu akan dapat menerka seperti apa
nasib hutan gunung tersebut.
Kebakaran
yang terjadi di gunung bukan hal yang mudah ditangani. Kondisi medan yang
sulit, jauhnya jarak tempuh menuju lokasi kebakaran dan faktor alam menjadi
hambatan dalam penanganan kasus tersebut. Kelestarian dan keselamatan hutan
Gunung Semeru bukan hanya tanggungjawab dari pihak TNBTS, Perhutani, BKSDA,
pemerintah, dan masyarakat, tetapi juga tanggungjawab para pecinta dan
penikmatnya.
Kebakaran
hutan yang terjadi secara alamiah memang tidak bisa dicegah. Namun akibat
kelalaian manusia dapat dicegah. Membuat api unggun dan merokok di alam bebas
tidaklah dilarang. Namun, Anda sebagai pendaki gunung yang notabene sebagai
pecinta alam harus tahu satu hal, alam yang Anda nukmati pesonanya itu punya
hak yang sama untuk hidup.
Gunung
Semeru memanjakan para pendakinya dengan panorama yang luar biasa indah.
Alangkah mulianya jika para pendakinya “membalas kebaikannya” dengan turut
menjaga kelestariannya. Hubungan simbiosis mutualisme di alam bebas akan
menciptakan keselarasan manusia dengan lingkungan sekitarnya, Tentunya Anda
tidak ingin disamakan dengan lagu Ritta Rubby Hartland yang berjudul Kepala Alam dan Pecintanya.
Pendaki gunung sahabat alam
sejati. Jaketmu penuh lambing, lambing kegagahan. Memproklamirkan dirimu
pencinta alam. Sementara maknanya belum kau miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar