Pada
tahun 2005 sastra Indonesia diramaikan oleh novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Pengarang ini tidak dikenal
sebelumnya dan novel ini merupakan karya sastra pertamanya. Andrea Hirata mengangkat kisah perjuangan
sepuluh orang anak miskin Melayu Belitong untuk mendapatkan pendidikan dan
berani memiliki cita-cita luhur. Novel
ini mewakili kehidupan sosial dan budaya masyarakat Melayu yang tinggal di
Pulau Belitong, salah satu pulau
Indonesia yang tidak pernah diangkat ke dalam karya sastra populer. Perjuangan anak-anak miskin menempuh
pendidikan, penggambaran sosial-budaya Melayu, dan penyampaian cerita yang
dikemas dalam bahasa bertabur metafora yang cerdas menjadikan novel ini best seller.
Andrea
Hirata adalah novelis Indonesia yang lahir dan besar di Pulau Belitong. Ia tidak dikenal sebelumnya, namun secara mengejutkan
langsung menulis tetralogi yang menjadi best
seller di Indonesia maupun di
luar negeri. Andrea Hirata mempunyai gaya tersendiri dalam penciptaan karyanya
dengan gaya realis bertabur metafora yang berani, tidak biasa, tidak terduga,
dan amat memikat. Di dalam
novel-novelnya ia memadukan sains dengan sastra dan walau penyampaiannya
sederhana tetapi tidak mengurangi keindahan kata yang dirangkainya. Ia telah
menulis enam novel yang telah beredar secara internasional di bawah sebuah literary management di New York. Novel-novel tersebut adalah Laskar Pelangi (The Rainbow Trops), Sang
Pemimpi (The Dreamer), Edensor (Edensor), Maryamah Karpov (yang ia rencanakan edisi globalnya berjudul The Strange Rhythm), Padang Bulan, dan Cinta di Dalam Gelas (The Field
of the Moon).
Salah
satu novel Andrea Hirata yang terkenal adalah Laskar Pelangi. Novel Laskar
Pelangi merupakan novel pertama dari tetralogi fenomenal Laskar Pelangi. Novel ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 2005 dan menjadi novel best seller yang terjual 600.000
eksemplar.
Novel Laskar Pelangi ini menceritakan tentang
kehidupan sepuluh anak dari keluarga miskin yang bersekolah di SD Islam tertua
di salah satu pulau terkaya di Indonesia, SD Muhammadiyah Belitong. Mereka adalah Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A
Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan Harun, yang kemudian disebut Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah. Di
sekolah kumuh itu mereka dapat belajar dengan gigih bersama guru mereka yang
luar biasa, Bu Muslimah dan Pak Harfan yang telah menanamkan budi pekerti mulia
di samping ilmu pengetahuan untuk bekal
meraih mimpi.
Hal yang
akan diangkat dalam pembahasan ini adalah konsep nation yang dikemukakan Sara Upstone dalam konteks wacana
poskolonial, dengan mengangkat masalah place,
apropriasi, resistensi, dan chaos.
Place menjadi fokus ada tiga, yaitu
Gedong (lahan sosial petinggi PN Timah, termasuk sekolahnya), kampung Melayu
Belitong, dan SD Muhammadiyah Gantong Belitong.
A.
Smaller
than Nation
Teverson
dan Upstone (2011:2) menulis, the idea
that place plays a significant role in how one defines one’s own identify and,
equality, how that identify is defined by others, is continually foregrounded
in postcolonial studies.
Studi-studi
poskolonial seringkali membedakan antara space
sebagai abstraksi kosong dan place sebagai
lokasi material dengan nama tertentu, dengans ejarah tertentu. Place ini bisa beragam bentuknya, mulai
dari kekuasaan atas citra, control terhadap keberagaman, dan jargon-jargon
nasional tentang stabilitas, nasionalisme, keamanan, dan sebagainya. Setiap
manusia dalam sebuah nation bisa
mengidentifikasi identitasnya sejauh batas-batas tersebut tidak dilanggar.
Batas-batas inilah yang memainkan peran penting dalam bagaimana orang
mendefinisikan identitasnya dan bagaimana identitas itu didefinisikan oleh
orang lain. Nation dengan demikian
merupakan salah satu strategi manipulasi kolonial terhadap batas-batas nasional
di negara-negara bekas jajahan. Nation adalah
place itu sendiri.
Upstone
menjabarkan mengenai ruang yang lebih kecil dari ruang-bangsa (nation). Di sini, rasa memiliki yang
etnis minoritas bertujuan untuk menghasilkan tidak berarti mengambil alih
seluruh kota, melainkan melibatkan perbedaan pada tingkat bangunan politik dan
ruang terbuka tertentu membangun kota. Menurut Nestor Garcia, ruang memiliki
fakta kekerasan dan ketidaknyamanan yang tidak dapat diabaikan, yang menjadikan
lebih selektif dalam kehidupan sosial. Perpindahan menuju ruang yang lebih
kecil merupakan alternatif lain yang meliputi seluruh kota. Dalam konteks
pascakolonial, place juga sering
disandingkan dengan upaya membangun kembali re-building)
suatu geografi imajiner pascakolonial yang dapat menandiangi geografi material
yang dibangun oleh wacana-wacana kolonial.
Novel ini
berlatar tempat di Belitong sekitar tahun 1970-an. Place yang dibahas dalam hal ini adalah kota di Pulau Belitong
dimana etnis Melayu, Tionghoa, dan subetnis lainnya seperti orang Sawang, orang
bersarung, hidup berdampingan di bawah hegemoni PN Timah. Di kota ini terdapat
dua wilayah yang berdampingan tetapi memiliki perbedaan yang mencolok, Gedong
dan kampong Melayu Belitong. Perbedaan ini timbul karena adanya
pengkotak-kotakan wilayah yang dilakukan oleh PN Timah.
Belitong
dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang
makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau
Belitung yng termasyhur di seluruh negeri Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku
Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya
jalan raya, jembatan, pelabuhan, real
estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik,
rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa padang golf, kelengkapan
sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong—sebuah pulau
kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. (LP:39)
Tindakan tersebut merupakan kolonialisasi warisan
penjajah. PN Timah maupun segala aset di dalamnya merupakan peninggalan Belanda
dan tradisi dalam lingkupnya diwarisi
oleh tradisi kolonial. Gedong yaitu kawasan mewah milik PN Timah yang dijaga
ketat oleh Polsus dan aturan khas zaman kolonial, dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak. Orang-orang di luar PN
Timah dilarang masuk dan menggunakan fasilitas yang ada di dalam tembok pemisah
antara Gedong dan masyarakat luar Gedong. Hal ini terdapat dalam kutipan
berikut.
Persis
bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri tembok
tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan "DILARANG
MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK". Di atas tembok ini tidak hanya
ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur
kawat berduri seperti di kamp Auschwitz. Namun, tidak seperti Tembok Besar Cina
yang melindungi berbagai dinasti dari serbuan suku-suku Mongol di utara, di
Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini
adalah pengukuhan sebuah dominasi dan perbedaan status sosial. (LP: 31)
Gedong
lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus)
Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap,
menginterogasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan
pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan
secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal kompeni. (LP : 43)
Tulisan
“dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak”, border-border, dan polisi khusus
merupakan wujud dan penegas batas wilayah yang menunjukkan kelas, kekuasaan,
identitas, dan menciptakan space. Place bersifat politis karena ia juga
melibatkan upaya-upaya sistematis dari wacana kolonial untuk membangun
batas-batas. Untuk membangun place,
kolonial membuat individu merasa bahwa identitasnya merupakan identitas asli
dirinya. Ia menciptakan wacana dominan tersebut. Dengan membangun place, kolonial sedang berpolitik untuk
membuat rumah tersebut senyaman mungkin kepada para penghuninya, seolah-olah
rumah itu milik dirinya sendiri, seolah-seolah tanpa rumah ia merasa bukan
bagian dari nation.
Pendatang
yang menguasai ekonomi dan lahan sosial Belitong melalui pertambangan besar PN
Timah menempati tanah Belitong, mengambil kekayaan alamnya, namun di balik semua itu sekaligus memberikan
peluang kerja bagi penduduknya yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Mereka
menjadi kuli dan dari cara itu mereka mendapat penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya yang berjumlah banyak. Akibatnya penduduk Belitong
non-Gedong tergantung pada PN Timah dan PN Timah leluasa mengembangkan
koloninya. Untuk membuat place, PN
Timah terlebih dahulu memegang kendali atas sumber daya alam yang vital di
wilayah itu dan seiring dengan itu menciptkan space. Yang eksklusif untuk orang-orang Gedong PN Timah, yang kumuh
untuk dipakai penduduk Belitong non-Gedong. Mereka menciptakan koloni yang
menyamankan kehidupan mereka di tanah baru, hal ini berkaitan dengan apropriasi
penduduk Gedong terhadap Belitong.
Pada
masyarakat Gedong, kelas sosial ditentukan oleh bentuk legitimasi status dengan
mengkotak-kotakkan wilayah dan kekuasaan. Salah satunya, hal ini ditandai
dengan adanya larangan-larangan yang ditentukan oleh Gedong terhadap “yang
tidak memiliki hak” agar tidak bercampur dengan wilayah kehidupan mereka. Yang
tidak memiliki hak di sini adalah masayarakat di luar Gedong yaitu Melayu,
Tionghoa, Sawang, dan lainnya. Wilayah Belitong yang tadinya berupa satu ruang
luas dan terbuka bagi pribuminya, setelah ada PN Timah menjadi terdapat jarak
dan ruang-ruang. Border dan larangan tertulis tersebut menjadikan ruang tidak
lagi luas tetapi terbatas. Terbatas untuk kepentingan orang-orang Gedong PN
Timah dan tertutup bagi orang di luar Gedong.
Masyarakat
non-Gedong adalah The Other dan
mereka harus dibedakan posisinya dengan Gedong. Keadaan seperti ini menganut
pemikiran kompeni dan sangat kolonial. Jika Belanda memandang Indonesia adalah The Other, alien, sesuatu yang rendah
(padahal Indonesia adalah pribumi), dalam tatanan Belitong tahun 1970-an The Other adalah Melayu Belitong yang
pada kenyataannya merupakan pribumi tetapi yang berkuasa adalah orang-orang
pendatang.
Di titik
tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya mabuk
ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan
kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform
infrastruktur ekonomi, PN tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting
tapi juga mewarisi mental bobrok feodalistis a la Belanda. Sementara seperti
sering dialami oleh warga pribumi di mana pun yang sumber daya alamnya dieksploitasi
habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong juga termarginalkan dalam
ketidakadilan kompensasi tanah ulayah. (LP: 36)
B.
Apropriasi PN Timah dalam Bentuk Gedong
Di balik
tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu negeri asing
yang jika berada di dalamnya orang akan merasa tak sedang berada di Belitong.
Dan di dalam sana berdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk
sekolah milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling
berpengaruh di Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah
adalah denyut nadi pulau kecil itu. (LP: 31)
Penduduk Gedong, yaitu orang-orang elite yang menguasai
PN Timah mayoritas berasal dari luar Belitong, Pulau Jawa, maupun luar negeri.
Mereka lulusan-lulusan luar negeri yang memiliki gelar panjang berbahasa
Belanda dan juga jabatan penting PN Timah yang juga menggunakan Bahasa Belanda,
seperti mollen bas atau Kepala Kapal
Keruk Timah.
Wilayah Belitong yang didominasi etnis Melayu-Belitong,
Tionghoa, dan sub-subetnis lainnya (Sawang, dll) memiliki budaya yang kuat.
Budaya ini diterapkan dalam bentuk arsitektur (model rumah, infrastruktur),
interaksi sosial (keagamaan, interaksi antar etnis, kelompok sosial,
perdagangan, warung kopi, dll), hiburan (pasar malam, bioskop, layar tancap,
dll), perilaku, bahasa, pola konsumsi, pekerjaan, dan pendidikan. Hal-hal yang
telah ada di sana tidak sesuai dengan budaya para pendatang. Pribumi Belitong tidak
mengenal rumah gaya Victoria, mobil pribadi yang mewah, meja terracotta, minuman cocktail, les privat, penggunaan kalkulator di sekolah, dan
sebagainya. Golongan ini membuat hal-hal seperti di wilayah baru mereka, membuat
senyaman mungkin dengan mengadakan apa yang tidak ada agar merasa seperti
berada dalam Home. Orang-orang PN
Timah dan kehidupan di dalamnya yang terdapat dalam novel ini adalah
pascakolonial, tetapi karena adanya warisan kolonial yang masih melekat kuat,
keadaan ini masih sama kolonial
dengan sebelumnya. Kutipan berikut ini menjabarkan kenyamanan dan eksklusifitas
home orang-orang Gedong.
Kawasan
warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan kesan itu
diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga 3 tua yang menjatuhkan butir-butir buah
semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar
garasi. Di sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki
jendela-jendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana
layar bioskop. Rumah-rumah itu ditempatkan pada kontur yang agak tinggi
sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum bangsawan dengan halaman
terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup tenteram sebuah
keluarga kecil dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai, temaram, dan
sejuk. (LP:42)
Bukan
hanya border dan tulisan “dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak” yang
menciptakan space dengan The Other (non-Gedong). Antar penghuni
Gedong pun memiliki place masing-masing yang juga berkesan menjaga jarak. Rumah mereka
menciptakan kesan indivialisme yang tinggi. Lahan-lahan sosial memang luas dan
terbuka asal untuk orang Gedong, tetapi di sisi lain banyak pula yang bersifat
terbatas seperti adanya kafe members only
yang tentu saja orang yang bukan member (yang
tidak memiliki hak) dilarang masuk, bagi orang Gedong sendiri lebih-lebih
non-Gedong.
Salah
satu contoh bentuk apropriasi Gedong dapat dilihat dari arsitektur rumah.
Fenomena gaya Victoria sama halnya yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda. Mereka
membangun rumah-rumahnya berdesain yang sama dengan arsitektur di negerinya.
Mereka tidak membuat rumah yang bermodel sama dengan Indonesia karena agar
koloni baru mereka rasanya seperti di negeri sendiri. Hal ini bisa jadi menjadi
pemikiran dasar bahwa negeri baru tempatnya membuat koloni pun serasa
(dianggap) sebagai tanah milik sendiri, termasuk
pribumi dan kekayaan alamnya yang diatur oleh aturan mereka. Mereka membuat home senyaman mungkin bukan hanya untuk
pribadi tetapi juga untuk menyamankan
home yang ada di balik mereka (negera asal, Belanda misalnya).
Selain
itu, mereka membuat sarana-sarana pendidikan dan infrastruktur lainnya untuk
menyamankan koloni. Misalnya dalam hal sekolah, Belanda membangun itu hanya
terbatas untuk golongannya sendiri dan pribumi yang boleh sekolah di situ hanya
golongan kelas atas seperti anak pejabat tinggi dan priyayi. Sekolah ini pun
menjadi sebuah place dalam lingkup “smaller than nation” yang memiliki space. Selalu ada jarak untuk membedakan
kaum kolonial dengan liyan.
Pun
demikian yang terjadi pada sekolah PN Timah. Sekolah ini eksklusif, lengkap,
bertenaga pendidik berkualitas, dan mewah. Sekolah ini didirikan khusus untuk
orang-orang Gedong. Adapun orang Melayu Belitong yang masuk di dalamnya adalah
termasuk berkedudukan dan pejabatan penting dalam lingkup PN Timah. Orang yang
berkedudukan sosial tinggi dalam lingkup Melayu Belitong (biasanya orang-orang
terhormat dalam konteks “berbudi pekerti luhur” seperti guru, kyai, atau orang
Tionghoa penguasa perekonomian pasar) tidak berkesempatan menyekolahkan anaknya
di sana karena bukan lingkup Gedong dan pejabat penting PN Timah.
Sebagai
kelanjutan dari apropriasi, muncul eksklusifitas di kalangan Gedong. Mengapa orang
PN Timah melakukan apropriasi dalam bentuk Gedong? Karena tuntutan dan
kebutuhan sosial mereka berbeda dengan pribumi Belitong. Bagi mereka, ada harga
yang harus dibayar untuk membeli status dan simbol. Ada rumah gaya Victoria
untuk menunjukkan citra elegan, berselera seni tinggi, dan berkuasa. Hal
seperti ini lebih mengarah pada identitas diri.
C.
Resistensi dan Chaos
Meminjam
istilah Jonestown mengenai mathematics of
chaos, fungsi kekacauan bukan sebagai gangguan tak berujung melainkan
memiliki arti keberagaman yang menjadi eksplisit dalam narasi. Kekacauan adalah
kesalahpahaman fenomena anarkis. Kekacauan tidak hanya dilihat sebagai suatu
hal yang tidak pernah berakhir. Dimana kemungkinan merupakan sebuah gambaran
keterbukaan semesta. Sebuah kelanjutan yang keluar dari misteri masa lalu menuju
masa depan yang benar-benar baru. Shwarz juga menyatakan bahwa kota
postcolonial adalah turunan tetapi bukan bersifat acak maupun terbaca.
Kekacauan yang harus dilihat bukan sebagai tidak pernah berakhir bermain bebas
dari keributan tetapi gangguan agak kacau norma menyarankan potensi makna baru.
Dalam kekacauan tersebut muncul kemungkinan bahwa sebagai kontinuitas ditelusuri antara lokasi yang tampaknya
terputus, sehingga dalam proses seleksi alam ideal pada akhirnya akan tercapai.
Bentuk
resistensi pribumi Melayu-Belitong salah satunya terdapat dalam pendidikan.
Seperti yang telah diketahui, sekolah milik PN Timah sangat eksklusif, mewah,
lengkap, bertenaga pengajar berkualitas, dan selalu juara dalam kompetisi
apapun. Di kampung Melayu-Belitong terdapat sekolah Islam tertua bernama SD
Muhammadiyah Gantong. Muridnya hanya sepuluh yang diajar oleh dua orang guru
(Pak Harfan dan Bu Muslimah) sejak kelas 1 hingga lulus. Keadaanya sangat jauh
dengan sekolah PN yang memiliki berbagai macam alat canggih untuk menunjang
belajar. Kadang, murid-murid SD Muhammadiyah membaca buku-buku dan majalah
ilmiah (seperti National Geographic)
dari seorang anak Gedong (Floriana) yang bergaul dengan mereka. Bentuk
resistensi ini berawal dari saat Bu Muslimah melihat potensi besar yang
dimiliki anak didiknya dalam bidang akademis. Lintang yang jenius, Mahar yang
punya bakat seni, dan yang lainnya (kecuali Harun) dapat diandalkan. Bu
Muslimah yakin murid-muridnya dapat mengharumkan SD Muhammadiyah yang tidak pernah
menjuarai apapun dan disepelekan. Pada karnaval Agustus antar sekolah Belitong,
SD PN Timah akhirnya juara, mengalahkan SD PN Timah atas ide brilian Mahar
memanfaatkan benda-benda alam sekitar menjadi kostum karnaval dan media
menarikan tarian magis yang terinspirasi suku pedalaman Afrika. Tidak hanya
itu. Kecerdasan Lintang dan kerjasama yang baik, mereka pun berhasil
mengalahkan SD PN Timah dalam lomba cerdas-cermat paling bergengsi di Belitong.
Lintang pun berhasil menumbangkan eksistensi guru terbaik SD PN Timah karena
perdebatan sebuah teori fisika.
Upaya
dan kejuaraan mereka sebagai simbol perlawanan terhadap mindset sekolah terbaik adalah sekolah PN. Sekolah kampung yang
miskin dan hanya memiliki bangunan seperti gudang kopra tidak ingin selalu
ditelantarkan dan dipandang sebelah mata. Pemikiran dan kecerdasan adalah alat
paling ampuh untuk melakukan perlawanan terhadap kemilau perangkat-perangkat PN
Timah. Dengan kejuaraan ini, pemerintah daerah pun akhirnya memberi perhatian
pada sekolah ini, berupa gaji guru dalam bentuk beras, kiriman buku, dan
lainnya. Penduduk Belitong lainnya pun mulai punya keinginan untuk
menyekolahkan anaknya di sana. Sebelumnya, anak-anak Belitong tidak bersekolah
dan setelah cukup umur mereka akan membantu orang tua menjadi kuli timah di PN.
Dengan kejuaraan ini pula space (dalam
pendidikan) antara Gedong dengan kampung Melayu-Belitong sedikit terbuka.
Pendobrak
space ini adalah seorang anak Gedong
bernama Floriana yang tomboy. Ia bersahabat dengan Laskar Pelangi (murid SD
Muhammadiyah) setelah ia ditemukan Mahar ketika tersesat di hutan Gunung
Selumar. Flo sering memberi mereka buku dan majalah dengan menjulurkan
tangannya dari pagar kawat berduri yang menjadi border antara kompleks Gedong dengan kampung. Lebih dari itu, Flo
yang sudah begitu akrab dengan mereka akhirnya pindah sekolah ke SD
Muhammadiyah dengan cara memaksa ayahnya. Karena ia anak satu-satunya dan
dimanja, ayahnya menyetujuinya. Untuk kepentingan nilai rapor anaknya pula sang
ayah menyumbangkan macam-macam barang ke sekolah kampung itu, berupa buku,
mesin pompa, papan tulis, dan lainnya. Tetapi pemberian-pemberian materi itu
tidak bisa membeli objektivitas guru SD Muhammadiyah dalam memberi nilai.
Di
bagian akhir cerita, perusahaan timah raksasa penguasa Belitong yang
menciptakan kasta sosial di tanah itu ditutup karena pada tahun 1987 harga
timah dunia merosot. Hal tersebut
terdapat pada kutipan berikut.
Pada
tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya
5.000 USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas
produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK. (LP : 481)
Orang-orang
PN Timah pun nasibnya berbanding lurus dengan perusahaannya. Mereka yang dulu
hidup penuh kenikmatan dalam gelimang kemewahan harus merasakan kemelaratan.
Anak-anak mereka yang masih sekolah di PN dilungsurkan ke sekolah-sekolah
negeri atau sekolah kampung karena sekolah PN juga dibubarkan.
Yang
terpukul knock out tentu saja
orang-orang staf. Tidak hanya karena secara mendadak kehilangan jabatan dan
hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik
terorganisasi yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem.
(LP : 485)
Sekolah-sekolah
PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong yang termangu-mangu sebagai jejak
feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok menjadi lokasi shooting acara misteri. Ratusan siswa PN
yang masih aktif dilungsurkan ke sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung. (LP
: 484)
Keadaan
tersebut menjadi jungkir balik bagi penduduk Gedong. Mereka mengalami chaos karena adanya faktor dari luar
yang lebih kuat, yaitu kondisi perekonomian dunia yang melemahkan harga timah.
Sedangkan kehidupan mereka amat tergantung padanya, sehingga seperti menerima
pukulan mematikan saat sumber kekayaan mereka direnggut dalam waktu cepat.
Penduduk
Melayu Belitong juga membuat chaos sebagai
wujud akhir resistensi mereka terhadap kekuasaan PN Timah. Setelah raksasa
ekonomi itu tumbang, mereka yang telah lama memendam kemarahan melakukan
perusakan dan penjarahan terhadap Gedong.
Dalam
waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahankan
sakit hati karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit
picik, menyerbu Gedong. Para Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah
rumah-rumah Victoria mewah di kawasan prestisus tak bertuan itu. Laksana kaum
proletar membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan dinding, rnenariki
genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, mencabuti pagar, mencuri daun pintu
dan jendela, mencongkel kusen, memecah- kan setiap kaca, mengungkit tegel, dan
membawa lari gorden.
Tanda-tanda
peringatan "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK" diturunkan
dan dibawa pulang untuk dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu
tembok Berlin. Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar chesterfield dan makan di meja terracotta yang mahal, berpura-pura
menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai menjarahnya. (LP: 485)
Setelah
PN Timah runtuh, masyarakat Belitong mendulang timah dengan cara alamiah. Hasil
produksinya ternyata lebih besar daripada PN Timah yang menggunakan 16 buah
kapal keruk dan didukung oleh teknologi canggih. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Saat ini
diperkirakan tak kurang dari 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong.
Mereka menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua
tangannya untuk memisahkan bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian
seperti tarzan namun menghasilkan 15.000 ton timah per tahun. Jumlah itu lebih
tinggi dari produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk, tambang-tambang
besar, dan open pit mining , serta
dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti kegagalan metanarasi kapitalisme.
(LP : 486)
DAFTAR
PUSTAKA
Hirata,
Andrea. 2010. Laskar Pelangi.
Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Teverson, Andrew dan Sara Upstone. “Introduction” (hlm. 1-14), dalam Andrew
Teverson dan Sara Upstone. Postcolonial
Spaces: The Politics of Place in Contemporary Culture. New York: Palgrave
Macmillan, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar