Kamis, 03 April 2014

Membaca Konsep Nation dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata : Tinjauan Poskolonialisme Shara Upstone


Pada tahun 2005 sastra Indonesia diramaikan oleh novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Pengarang ini tidak dikenal sebelumnya dan novel ini merupakan karya sastra pertamanya.  Andrea Hirata mengangkat kisah perjuangan sepuluh orang anak miskin Melayu Belitong untuk mendapatkan pendidikan dan berani memiliki cita-cita luhur.  Novel ini mewakili kehidupan sosial dan budaya masyarakat Melayu yang tinggal di Pulau Belitong,  salah satu pulau Indonesia yang tidak pernah diangkat ke dalam karya sastra populer.  Perjuangan anak-anak miskin menempuh pendidikan, penggambaran sosial-budaya Melayu, dan penyampaian cerita yang dikemas dalam bahasa bertabur metafora yang cerdas menjadikan novel ini best seller.
Andrea Hirata adalah novelis Indonesia yang lahir dan besar di Pulau Belitong.  Ia tidak dikenal sebelumnya, namun secara mengejutkan langsung menulis tetralogi yang menjadi best seller di Indonesia maupun di luar negeri. Andrea Hirata mempunyai gaya tersendiri dalam penciptaan karyanya dengan gaya realis bertabur metafora yang berani, tidak biasa, tidak terduga, dan amat memikat.  Di dalam novel-novelnya ia memadukan sains dengan sastra dan walau penyampaiannya sederhana tetapi tidak mengurangi keindahan kata yang dirangkainya. Ia telah menulis enam novel yang telah beredar secara internasional di bawah sebuah literary management  di New York.  Novel-novel tersebut adalah Laskar Pelangi (The Rainbow Trops), Sang Pemimpi (The Dreamer), Edensor (Edensor), Maryamah Karpov (yang ia rencanakan edisi globalnya berjudul The Strange Rhythm), Padang Bulan, dan Cinta di Dalam Gelas (The Field of the Moon).
Salah satu novel Andrea Hirata yang terkenal adalah Laskar Pelangi. Novel Laskar Pelangi merupakan novel pertama dari tetralogi fenomenal Laskar Pelangi.  Novel ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 2005 dan menjadi novel best seller yang terjual 600.000 eksemplar.
Novel Laskar Pelangi ini menceritakan tentang kehidupan sepuluh anak dari keluarga miskin yang bersekolah di SD Islam tertua di salah satu pulau terkaya di Indonesia, SD Muhammadiyah Belitong.  Mereka adalah Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan Harun, yang kemudian disebut Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah. Di sekolah kumuh itu mereka dapat belajar dengan gigih bersama guru mereka yang luar biasa, Bu Muslimah dan Pak Harfan yang telah menanamkan budi pekerti mulia di samping ilmu pengetahuan  untuk bekal meraih mimpi.
Hal yang akan diangkat dalam pembahasan ini adalah konsep nation yang dikemukakan Sara Upstone dalam konteks wacana poskolonial, dengan mengangkat masalah place, apropriasi, resistensi, dan chaos. Place menjadi fokus ada tiga, yaitu Gedong (lahan sosial petinggi PN Timah, termasuk sekolahnya), kampung Melayu Belitong, dan SD Muhammadiyah Gantong Belitong.

A.    Smaller than Nation
Teverson dan Upstone (2011:2) menulis, the idea that place plays a significant role in how one defines one’s own identify and, equality, how that identify is defined by others, is continually foregrounded in postcolonial studies.
Studi-studi poskolonial seringkali membedakan antara space sebagai abstraksi kosong dan place sebagai lokasi material dengan nama tertentu, dengans ejarah tertentu. Place ini bisa beragam bentuknya, mulai dari kekuasaan atas citra, control terhadap keberagaman, dan jargon-jargon nasional tentang stabilitas, nasionalisme, keamanan, dan sebagainya. Setiap manusia dalam sebuah nation bisa mengidentifikasi identitasnya sejauh batas-batas tersebut tidak dilanggar. Batas-batas inilah yang memainkan peran penting dalam bagaimana orang mendefinisikan identitasnya dan bagaimana identitas itu didefinisikan oleh orang lain. Nation dengan demikian merupakan salah satu strategi manipulasi kolonial terhadap batas-batas nasional di negara-negara bekas jajahan. Nation adalah place itu sendiri.
Upstone menjabarkan mengenai ruang yang lebih kecil dari ruang-bangsa (nation). Di sini, rasa memiliki yang etnis minoritas bertujuan untuk menghasilkan tidak berarti mengambil alih seluruh kota, melainkan melibatkan perbedaan pada tingkat bangunan politik dan ruang terbuka tertentu membangun kota. Menurut Nestor Garcia, ruang memiliki fakta kekerasan dan ketidaknyamanan yang tidak dapat diabaikan, yang menjadikan lebih selektif dalam kehidupan sosial. Perpindahan menuju ruang yang lebih kecil merupakan alternatif lain yang meliputi seluruh kota. Dalam konteks pascakolonial, place juga sering disandingkan dengan upaya membangun kembali re-building) suatu geografi imajiner pascakolonial yang dapat menandiangi geografi material yang dibangun oleh wacana-wacana kolonial.
Novel ini berlatar tempat di Belitong sekitar tahun 1970-an. Place yang dibahas dalam hal ini adalah kota di Pulau Belitong dimana etnis Melayu, Tionghoa, dan subetnis lainnya seperti orang Sawang, orang bersarung, hidup berdampingan di bawah hegemoni PN Timah. Di kota ini terdapat dua wilayah yang berdampingan tetapi memiliki perbedaan yang mencolok, Gedong dan kampong Melayu Belitong. Perbedaan ini timbul karena adanya pengkotak-kotakan wilayah yang dilakukan oleh PN Timah.
Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yng termasyhur di seluruh negeri Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong—sebuah pulau kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. (LP:39)

            Tindakan tersebut merupakan kolonialisasi warisan penjajah. PN Timah maupun segala aset di dalamnya merupakan peninggalan Belanda dan tradisi dalam lingkupnya diwarisi oleh tradisi kolonial. Gedong yaitu kawasan mewah milik PN Timah yang dijaga ketat oleh Polsus dan aturan khas zaman kolonial, dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak. Orang-orang di luar PN Timah dilarang masuk dan menggunakan fasilitas yang ada di dalam tembok pemisah antara Gedong dan masyarakat luar Gedong. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK". Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwitz. Namun, tidak seperti Tembok Besar Cina yang melindungi berbagai dinasti dari serbuan suku-suku Mongol di utara, di Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah dominasi dan perbedaan status sosial. (LP: 31)
Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, menginterogasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement  tipikal kompeni. (LP : 43)
           
Tulisan “dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak”, border-border, dan polisi khusus merupakan wujud dan penegas batas wilayah yang menunjukkan kelas, kekuasaan, identitas, dan menciptakan space. Place bersifat politis karena ia juga melibatkan upaya-upaya sistematis dari wacana kolonial untuk membangun batas-batas. Untuk membangun place, kolonial membuat individu merasa bahwa identitasnya merupakan identitas asli dirinya. Ia menciptakan wacana dominan tersebut. Dengan membangun place, kolonial sedang berpolitik untuk membuat rumah tersebut senyaman mungkin kepada para penghuninya, seolah-olah rumah itu milik dirinya sendiri, seolah-seolah tanpa rumah ia merasa bukan bagian dari nation.
Pendatang yang menguasai ekonomi dan lahan sosial Belitong melalui pertambangan besar PN Timah menempati tanah Belitong, mengambil kekayaan alamnya,  namun di balik semua itu sekaligus memberikan peluang kerja bagi penduduknya yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Mereka menjadi kuli dan dari cara itu mereka mendapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang berjumlah banyak. Akibatnya penduduk Belitong non-Gedong tergantung pada PN Timah dan PN Timah leluasa mengembangkan koloninya. Untuk membuat place, PN Timah terlebih dahulu memegang kendali atas sumber daya alam yang vital di wilayah itu dan seiring dengan itu menciptkan space. Yang eksklusif untuk orang-orang Gedong PN Timah, yang kumuh untuk dipakai penduduk Belitong non-Gedong. Mereka menciptakan koloni yang menyamankan kehidupan mereka di tanah baru, hal ini berkaitan dengan apropriasi penduduk Gedong terhadap Belitong.
Pada masyarakat Gedong, kelas sosial ditentukan oleh bentuk legitimasi status dengan mengkotak-kotakkan wilayah dan kekuasaan. Salah satunya, hal ini ditandai dengan adanya larangan-larangan yang ditentukan oleh Gedong terhadap “yang tidak memiliki hak” agar tidak bercampur dengan wilayah kehidupan mereka. Yang tidak memiliki hak di sini adalah masayarakat di luar Gedong yaitu Melayu, Tionghoa, Sawang, dan lainnya. Wilayah Belitong yang tadinya berupa satu ruang luas dan terbuka bagi pribuminya, setelah ada PN Timah menjadi terdapat jarak dan ruang-ruang. Border dan larangan tertulis tersebut menjadikan ruang tidak lagi luas tetapi terbatas. Terbatas untuk kepentingan orang-orang Gedong PN Timah dan tertutup bagi orang di luar Gedong.
Masyarakat non-Gedong adalah The Other dan mereka harus dibedakan posisinya dengan Gedong. Keadaan seperti ini menganut pemikiran kompeni dan sangat kolonial. Jika Belanda memandang Indonesia adalah The Other, alien, sesuatu yang rendah (padahal Indonesia adalah pribumi), dalam tatanan Belitong tahun 1970-an The Other adalah Melayu Belitong yang pada kenyataannya merupakan pribumi tetapi yang berkuasa adalah orang-orang pendatang.
Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok feodalistis a la Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah. (LP: 36)

B.    Apropriasi PN Timah dalam Bentuk Gedong

Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu negeri asing yang jika berada di dalamnya orang akan merasa tak sedang berada di Belitong. Dan di dalam sana berdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh di Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau kecil itu. (LP: 31)

            Penduduk Gedong, yaitu orang-orang elite yang menguasai PN Timah mayoritas berasal dari luar Belitong, Pulau Jawa, maupun luar negeri. Mereka lulusan-lulusan luar negeri yang memiliki gelar panjang berbahasa Belanda dan juga jabatan penting PN Timah yang juga menggunakan Bahasa Belanda, seperti mollen bas atau Kepala Kapal Keruk Timah.
            Wilayah Belitong yang didominasi etnis Melayu-Belitong, Tionghoa, dan sub-subetnis lainnya (Sawang, dll) memiliki budaya yang kuat. Budaya ini diterapkan dalam bentuk arsitektur (model rumah, infrastruktur), interaksi sosial (keagamaan, interaksi antar etnis, kelompok sosial, perdagangan, warung kopi, dll), hiburan (pasar malam, bioskop, layar tancap, dll), perilaku, bahasa, pola konsumsi, pekerjaan, dan pendidikan. Hal-hal yang telah ada di sana tidak sesuai dengan budaya para pendatang. Pribumi Belitong tidak mengenal rumah gaya Victoria, mobil pribadi yang mewah, meja terracotta, minuman cocktail, les privat, penggunaan kalkulator di sekolah, dan sebagainya. Golongan ini membuat hal-hal seperti di wilayah baru mereka, membuat senyaman mungkin dengan mengadakan apa yang tidak ada agar merasa seperti berada dalam Home. Orang-orang PN Timah dan kehidupan di dalamnya yang terdapat dalam novel ini adalah pascakolonial, tetapi karena adanya warisan kolonial yang masih melekat kuat, keadaan ini masih sama kolonial dengan sebelumnya. Kutipan berikut ini menjabarkan kenyamanan dan eksklusifitas home orang-orang Gedong.

Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga 3 tua yang menjatuhkan butir-butir buah semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki jendela-jendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu ditempatkan pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai, temaram, dan sejuk. (LP:42)

Bukan hanya border dan tulisan “dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak” yang menciptakan space dengan The Other (non-Gedong). Antar penghuni Gedong pun  memiliki place masing-masing yang juga berkesan menjaga jarak. Rumah mereka menciptakan kesan indivialisme yang tinggi. Lahan-lahan sosial memang luas dan terbuka asal untuk orang Gedong, tetapi di sisi lain banyak pula yang bersifat terbatas seperti adanya kafe members only yang tentu saja orang yang bukan member (yang tidak memiliki hak) dilarang masuk, bagi orang Gedong sendiri lebih-lebih non-Gedong.
Salah satu contoh bentuk apropriasi Gedong dapat dilihat dari arsitektur rumah. Fenomena gaya Victoria sama halnya yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda. Mereka membangun rumah-rumahnya berdesain yang sama dengan arsitektur di negerinya. Mereka tidak membuat rumah yang bermodel sama dengan Indonesia karena agar koloni baru mereka rasanya seperti di negeri sendiri. Hal ini bisa jadi menjadi pemikiran dasar bahwa negeri baru tempatnya membuat koloni pun serasa (dianggap) sebagai tanah milik sendiri, termasuk pribumi dan kekayaan alamnya yang diatur oleh aturan mereka. Mereka membuat home senyaman mungkin bukan hanya untuk pribadi tetapi juga untuk menyamankan home yang ada di balik mereka (negera asal, Belanda misalnya).
Selain itu, mereka membuat sarana-sarana pendidikan dan infrastruktur lainnya untuk menyamankan koloni. Misalnya dalam hal sekolah, Belanda membangun itu hanya terbatas untuk golongannya sendiri dan pribumi yang boleh sekolah di situ hanya golongan kelas atas seperti anak pejabat tinggi dan priyayi. Sekolah ini pun menjadi sebuah place dalam lingkup “smaller than nation” yang memiliki space. Selalu ada jarak untuk membedakan kaum kolonial dengan liyan.
Pun demikian yang terjadi pada sekolah PN Timah. Sekolah ini eksklusif, lengkap, bertenaga pendidik berkualitas, dan mewah. Sekolah ini didirikan khusus untuk orang-orang Gedong. Adapun orang Melayu Belitong yang masuk di dalamnya adalah termasuk berkedudukan dan pejabatan penting dalam lingkup PN Timah. Orang yang berkedudukan sosial tinggi dalam lingkup Melayu Belitong (biasanya orang-orang terhormat dalam konteks “berbudi pekerti luhur” seperti guru, kyai, atau orang Tionghoa penguasa perekonomian pasar) tidak berkesempatan menyekolahkan anaknya di sana karena bukan lingkup Gedong dan pejabat penting PN Timah.
Sebagai kelanjutan dari apropriasi, muncul eksklusifitas di kalangan Gedong. Mengapa orang PN Timah melakukan apropriasi dalam bentuk Gedong? Karena tuntutan dan kebutuhan sosial mereka berbeda dengan pribumi Belitong. Bagi mereka, ada harga yang harus dibayar untuk membeli status dan simbol. Ada rumah gaya Victoria untuk menunjukkan citra elegan, berselera seni tinggi, dan berkuasa. Hal seperti ini lebih mengarah pada identitas diri.

C.   Resistensi dan Chaos

Meminjam istilah Jonestown mengenai mathematics of chaos, fungsi kekacauan bukan sebagai gangguan tak berujung melainkan memiliki arti keberagaman yang menjadi eksplisit dalam narasi. Kekacauan adalah kesalahpahaman fenomena anarkis. Kekacauan tidak hanya dilihat sebagai suatu hal yang tidak pernah berakhir. Dimana kemungkinan merupakan sebuah gambaran keterbukaan semesta. Sebuah kelanjutan yang keluar dari misteri masa lalu menuju masa depan yang benar-benar baru. Shwarz juga menyatakan bahwa kota postcolonial adalah turunan tetapi bukan bersifat acak maupun terbaca. Kekacauan yang harus dilihat bukan sebagai tidak pernah berakhir bermain bebas dari keributan tetapi gangguan agak kacau norma menyarankan potensi makna baru. Dalam kekacauan tersebut muncul kemungkinan bahwa sebagai kontinuitas ditelusuri antara lokasi yang tampaknya terputus, sehingga dalam proses seleksi alam ideal pada akhirnya akan tercapai.
Bentuk resistensi pribumi Melayu-Belitong salah satunya terdapat dalam pendidikan. Seperti yang telah diketahui, sekolah milik PN Timah sangat eksklusif, mewah, lengkap, bertenaga pengajar berkualitas, dan selalu juara dalam kompetisi apapun. Di kampung Melayu-Belitong terdapat sekolah Islam tertua bernama SD Muhammadiyah Gantong. Muridnya hanya sepuluh yang diajar oleh dua orang guru (Pak Harfan dan Bu Muslimah) sejak kelas 1 hingga lulus. Keadaanya sangat jauh dengan sekolah PN yang memiliki berbagai macam alat canggih untuk menunjang belajar. Kadang, murid-murid SD Muhammadiyah membaca buku-buku dan majalah ilmiah (seperti National Geographic) dari seorang anak Gedong (Floriana) yang bergaul dengan mereka. Bentuk resistensi ini berawal dari saat Bu Muslimah melihat potensi besar yang dimiliki anak didiknya dalam bidang akademis. Lintang yang jenius, Mahar yang punya bakat seni, dan yang lainnya (kecuali Harun) dapat diandalkan. Bu Muslimah yakin murid-muridnya dapat mengharumkan SD Muhammadiyah yang tidak pernah menjuarai apapun dan disepelekan. Pada karnaval Agustus antar sekolah Belitong, SD PN Timah akhirnya juara, mengalahkan SD PN Timah atas ide brilian Mahar memanfaatkan benda-benda alam sekitar menjadi kostum karnaval dan media menarikan tarian magis yang terinspirasi suku pedalaman Afrika. Tidak hanya itu. Kecerdasan Lintang dan kerjasama yang baik, mereka pun berhasil mengalahkan SD PN Timah dalam lomba cerdas-cermat paling bergengsi di Belitong. Lintang pun berhasil menumbangkan eksistensi guru terbaik SD PN Timah karena perdebatan sebuah teori fisika.
Upaya dan kejuaraan mereka sebagai simbol perlawanan terhadap mindset sekolah terbaik adalah sekolah PN. Sekolah kampung yang miskin dan hanya memiliki bangunan seperti gudang kopra tidak ingin selalu ditelantarkan dan dipandang sebelah mata. Pemikiran dan kecerdasan adalah alat paling ampuh untuk melakukan perlawanan terhadap kemilau perangkat-perangkat PN Timah. Dengan kejuaraan ini, pemerintah daerah pun akhirnya memberi perhatian pada sekolah ini, berupa gaji guru dalam bentuk beras, kiriman buku, dan lainnya. Penduduk Belitong lainnya pun mulai punya keinginan untuk menyekolahkan anaknya di sana. Sebelumnya, anak-anak Belitong tidak bersekolah dan setelah cukup umur mereka akan membantu orang tua menjadi kuli timah di PN. Dengan kejuaraan ini pula space (dalam pendidikan) antara Gedong dengan kampung Melayu-Belitong sedikit terbuka.
Pendobrak space ini adalah seorang anak Gedong bernama Floriana yang tomboy. Ia bersahabat dengan Laskar Pelangi (murid SD Muhammadiyah) setelah ia ditemukan Mahar ketika tersesat di hutan Gunung Selumar. Flo sering memberi mereka buku dan majalah dengan menjulurkan tangannya dari pagar kawat berduri yang menjadi border antara kompleks Gedong dengan kampung. Lebih dari itu, Flo yang sudah begitu akrab dengan mereka akhirnya pindah sekolah ke SD Muhammadiyah dengan cara memaksa ayahnya. Karena ia anak satu-satunya dan dimanja, ayahnya menyetujuinya. Untuk kepentingan nilai rapor anaknya pula sang ayah menyumbangkan macam-macam barang ke sekolah kampung itu, berupa buku, mesin pompa, papan tulis, dan lainnya. Tetapi pemberian-pemberian materi itu tidak bisa membeli objektivitas guru SD Muhammadiyah dalam memberi nilai.
Di bagian akhir cerita, perusahaan timah raksasa penguasa Belitong yang menciptakan kasta sosial di tanah itu ditutup karena pada tahun 1987 harga timah dunia merosot.  Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000 USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK. (LP : 481)

Orang-orang PN Timah pun nasibnya berbanding lurus dengan perusahaannya. Mereka yang dulu hidup penuh kenikmatan dalam gelimang kemewahan harus merasakan kemelaratan. Anak-anak mereka yang masih sekolah di PN dilungsurkan ke sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung karena sekolah PN juga dibubarkan.
Yang terpukul knock out tentu saja orang-orang staf. Tidak hanya karena secara mendadak kehilangan jabatan dan hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem. (LP : 485)

Sekolah-sekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok menjadi lokasi shooting acara misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung. (LP : 484)

Keadaan tersebut menjadi jungkir balik bagi penduduk Gedong. Mereka mengalami chaos karena adanya faktor dari luar yang lebih kuat, yaitu kondisi perekonomian dunia yang melemahkan harga timah. Sedangkan kehidupan mereka amat tergantung padanya, sehingga seperti menerima pukulan mematikan saat sumber kekayaan mereka direnggut dalam waktu cepat.
Penduduk Melayu Belitong juga membuat chaos sebagai wujud akhir resistensi mereka terhadap kekuasaan PN Timah. Setelah raksasa ekonomi itu tumbang, mereka yang telah lama memendam kemarahan melakukan perusakan dan penjarahan terhadap Gedong.
Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahankan sakit hati karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumah-rumah Victoria mewah di kawasan prestisus tak bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan dinding, rnenariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, mencabuti pagar, mencuri daun pintu dan jendela, mencongkel kusen, memecah- kan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa lari gorden.
Tanda-tanda peringatan "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK" diturunkan dan dibawa pulang untuk dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu tembok Berlin. Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar chesterfield dan makan di meja terracotta yang mahal, berpura-pura menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai menjarahnya. (LP: 485)

Setelah PN Timah runtuh, masyarakat Belitong mendulang timah dengan cara alamiah. Hasil produksinya ternyata lebih besar daripada PN Timah yang menggunakan 16 buah kapal keruk dan didukung oleh teknologi canggih.  Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Saat ini diperkirakan tak kurang dari 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong. Mereka menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk memisahkan bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian seperti tarzan namun menghasilkan 15.000 ton timah per tahun. Jumlah itu lebih tinggi dari produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk, tambang-tambang besar, dan open pit mining , serta dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti kegagalan metanarasi kapitalisme. (LP : 486)


DAFTAR PUSTAKA

Hirata, Andrea. 2010. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Teverson, Andrew dan Sara Upstone. “Introduction” (hlm. 1-14), dalam Andrew Teverson dan Sara Upstone. Postcolonial Spaces: The Politics of Place in Contemporary Culture. New York: Palgrave Macmillan, 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar