Kamis, 03 April 2014

Kebakaran Hutan Gunung Semeru Salah Siapa?






 
 Hutan kawasan kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) di lereng Gunung Semeru atau tepatnya di Gunung Kepolo, Desa Ranu Pani Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Jawa Timur terbakar. Kepala Bidang TNBTS Wilayah II Lumajang, Anggoro Dwi Sujiharto mengatakan, kebakaran hutan di lereng Gunung Semeru terlihat sejak (11/10) malam. Namun sebagian titik api hingga Rabu sore belum bisa dipadamkan. Luas kebakaran hutan diprediksi mencapai 10-20 ha, namun lokasinya sulit dijangkau oleh petugas. Demikian berita yang dikabarkan Surya dalam rubrik berita terkini Jatim Raya pada hari Rabu tanggal 12 Oktober 2011.
            Penyebab kebakaran belum diketahui secara pasti, namun diprediksi akibat ulah manusia baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Kebakaran hutan yang disebabkan kondisi alam presentasinya 1%, namun akibat ulah manusia mencapai 99%.  Musim kemarau dan vegetasi hutan yang dipenuhi dengan tanaman cemara memudahkan terbakar apabila ada nyala api yang merambat ke kawasan tersebut seperti punting rokok atau sisa api unggun yang sempurna dipadamkan karena masih ada bara api.
            Selama bulan September-Oktober diberitakan terjadi tiga kali kebakaran hutan yaitu di Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro di Jawa Tengah pada bulan September serta Gunung Semeru di Jawa Timur pada bulan Oktober. Menurut informasi yang dirangkum dari berbagai sumber, kebakaran hutan gunung tersebut diduga kuat karena kelalaian manusia.
            Melihat fenomena seperti itu, siapakah pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan gunung tersebut?
            Gunung Semeru adalah gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa dengan puncaknya Mahameru yang berketinggian 3.676 mdpl (meter di atas permukaan laut). Kawah di puncak Gunung Semeru dikenal dengan nama Jonggring Seloko yang aktif mengeluarkan wedhus gembel setiap 15-30 menit sekali. Gunung ini terletak di antara wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang dengan posisi geografis 8º06’LS dan 120º55’BT. Gunung Semeru memiliki pemandangan yang luar biasa indah sehingga menjadi tujuan favorit pendaki lokal maupun mancanegara.
            Karakteristik Gunung Semeru sama halnya dengan keadaan alam gunung-gunung di Jawa timur pada umumnya. Vegetasinya didominasi oleh savanna (padang rumput), hutan cemara, dan heterogen. Pendakian Gunung Semeru biasanya dibuka pada bulan Juni-Oktober atau pada musim kemarau. Bulan November-Mei biasanya ditutup karena pada musim hujan sering terjadi longsor di jalur pendakian, khususnya jalur antara Arcopodo (2.900 mdpl)-Puncak Mahameru, dan badai yang mengancam keselamatan pendaki.
            Pada musim kemarau kondisi vegetasi Gunung Semeru mengalami kekeringan. Sehingga dengan adanya gesekan vegetasi sedikitpun akan mudah terbakar. Hal tersebut didukung pula oleh hembusan angin yang relatif kencang. Apalagi keadaan mudan di Gunung Semeru relatif landai dan luas sehingga hembusan angin lebih kuat dan dapat mempercepat penyebaran api. Oleh karena itu, kebakaran yang melanda Gunung Semeru lebih sering terjadi di wilayah yang landai daripada di wilayah yang terjal yaitu wilayah Watu Rejeng (±2.300 mdpl), Ranu Kumbolo (±2.400 mdpl), savanna Oro-Oro Ombo, dan Cemoro Kandang yang termasuk ke dalam gugusan Gunung Kepolo (3.098 mdpl).
Musim kemarau merupakan saat yang paling baik untuk mendaki Gunung Semeru. Resiko terkena longsoran jalur pendakian dan badai relatif rendah dibandingkan pada musim hujan, meski suhu lebih ekstrim. Suhu pada musim kemarau dapat mencapai 0º pada malam hari dan membentuk kristal-kristal es.
Beraktivitas di tempat yang dingin merangsang manusia untuk menghangatkan diri. Tak terkecuali saat mendaki gunung. Sehingga ada sebuah ungkapan bahwa camping  atau mendaki gunung tanpa api unggun rasanya kurang lengkap. Dengan api unggun dapat menghangatkan suhu di sekitar perkemahan dan memantik keceriaan di alam bebas. Berdiang sambil minum kopi bersama kawan-kawan tentunya merupakan kenikmatan yang tiada tara.
Namun aktivitas menyenangkan tersebut dapat membahayakan lingkungan jika kita lalai. Seperti yang sering saya lihat di lapangan, selalu saja ada api unggun yang tidak dimatikan dengan sempurna. Meskipun hanya asap yang tersisa, dengan didukung oleh angin yang kencang api tersebut akan kembali membesar dan melalap apa saja yang ada di sekitarnya. Apalagi vegetasi gunung tersebut dalam keadaan kekeringan.
Selain api unggun, sebagian besar pendaki gunung adalah perokok. Rokok, meski nyalanya terlihat sepele, hanya bara api pada ujung lintingan temakau berdiameter 0,5 cm dapat menimbulkan masalah besar. Membujang punting rokok memang terlihat remeh. Tapia pa yang akan terjadi jika punting punting rokok yang masih menyala itu dibuang di atas semak-semak kering? Anda tentu akan dapat menerka seperti apa nasib hutan gunung tersebut.
Kebakaran yang terjadi di gunung bukan hal yang mudah ditangani. Kondisi medan yang sulit, jauhnya jarak tempuh menuju lokasi kebakaran dan faktor alam menjadi hambatan dalam penanganan kasus tersebut. Kelestarian dan keselamatan hutan Gunung Semeru bukan hanya tanggungjawab dari pihak TNBTS, Perhutani, BKSDA, pemerintah, dan masyarakat, tetapi juga tanggungjawab para pecinta dan penikmatnya.
Kebakaran hutan yang terjadi secara alamiah memang tidak bisa dicegah. Namun akibat kelalaian manusia dapat dicegah. Membuat api unggun dan merokok di alam bebas tidaklah dilarang. Namun, Anda sebagai pendaki gunung yang notabene sebagai pecinta alam harus tahu satu hal, alam yang Anda nukmati pesonanya itu punya hak yang sama untuk hidup.
Gunung Semeru memanjakan para pendakinya dengan panorama yang luar biasa indah. Alangkah mulianya jika para pendakinya “membalas kebaikannya” dengan turut menjaga kelestariannya. Hubungan simbiosis mutualisme di alam bebas akan menciptakan keselarasan manusia dengan lingkungan sekitarnya, Tentunya Anda tidak ingin disamakan dengan lagu Ritta Rubby Hartland yang berjudul Kepala Alam dan Pecintanya.
Pendaki gunung sahabat alam sejati. Jaketmu penuh lambing, lambing kegagahan. Memproklamirkan dirimu pencinta alam. Sementara maknanya belum kau miliki. 

REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA : KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA SWINGEWOOD PADA NOVEL

Pada tahun 2000-an sastra Indonesia didominasi oleh karya sastra yang mengangkat sesuatu yang masih tabu untuk diperbincangkan secara vulgar. Pencetus karya sastra ini berasal dari kalangan perempuan seperti Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu.  Ayu Utami pada waktu itu terkenal dengan novelnya yang berjudul Larung (1998) dan Saman (2001).  Adapun Djenar Maesa Ayu berhasil mendapatkan penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2003 untuk cerpen yang berjudul Waktu Nayla.  Demikian pula dengan cerpen Menyusu Ayah yang juga mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan. Pada tahun 2004, kumpulan cerpennya yang berjudul Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) meraih penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award.  Hal tersebut menandai lahirnya mazhab sastra baru pada tahun 2000-an yang disebut dengan sastra mazhab selangkangan.  Mazhab ini menjadi sebuah genre baru dalam sastra Indonesia yang muncul setelah gelombang besar reformasi membawa perubahan politik di tanah air.
Selain itu, pada tahun 2000-an terdapat beberapa pengarang laki-laki yang memperkenalkan aliran sastra lain yang bertentangan dengan mazhab sastra yang dibawa Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, yaitu sastra Islami. Karya sastra ini merupakan cerita-cerita bernapaskan kehidupan Islami yang pertama kali dipopulerkan oleh Habiburrahman El-Shirazy dengan novelnya yang berjudul Ayat-Ayat Cinta (2005).  Selanjutnya novel ini menjadi best seller dan novel-novel pengarang lain yang terinspirasi oleh Habiburrahman El-Shirazy juga banyak yang menjadi best seller.
Di tengah-tengah popularitas kedua mazhab tersebut, pada tahun 2005 sastra Indonesia diramaikan oleh novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Pengarang ini tidak dikenal sebelumnya dan novel ini merupakan karya sastra pertamanya.  Andrea Hirata mengangkat kisah perjuangan sepuluh orang anak miskin Melayu Belitong untuk mendapatkan pendidikan dan berani memiliki cita-cita luhur.  Novel ini mewakili kehidupan sosial dan budaya masyarakat Melayu yang tinggal di Pulau Belitong,  salah satu pulau Indonesia yang tidak pernah diangkat ke dalam karya sastra populer.  Perjuangan anak-anak miskin menempuh pendidikan, penggambaran sosial-budaya Melayu, dan penyampaian cerita yang dikemas dalam bahasa bertabur metafora yang cerdas menjadikan novel ini best seller.
Andrea Hirata adalah novelis Indonesia yang lahir dan besar di Pulau Belitong.  Ia tidak dikenal sebelumnya, namun secara mengejutkan langsung menulis tetralogi yang menjadi best seller di Indonesia maupun di luar negeri. Andrea Hirata mempunyai gaya tersendiri dalam penciptaan karyanya dengan gaya realis bertabur metafora yang berani, tidak biasa, tidak terduga, dan amat memikat.  Di dalam novel-novelnya ia memadukan sains dengan sastra dan walau penyampaiannya sederhana tetapi tidak mengurangi keindahan kata yang dirangkainya. Ia telah menulis enam novel yang telah beredar secara internasional di bawah sebuah literary management  di New York.  Novel-novel tersebut adalah Laskar Pelangi (The Rainbow Trops), Sang Pemimpi (The Dreamer), Edensor (Edensor), Maryamah Karpov (yang ia rencanakan edisi globalnya berjudul The Strange Rhythm), Padang Bulan, dan Cinta di Dalam Gelas (The Field of the Moon).
Salah satu novel Andrea Hirata yang terkenal adalah Laskar Pelangi. Novel Laskar Pelangi merupakan novel pertama dari tetralogi fenomenal Laskar Pelangi.  Novel ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 2005 dan menjadi novel best seller yang terjual 600.000 eksemplar.
Novel Laskar Pelangi ini menceritakan tentang kehidupan sepuluh anak dari keluarga miskin yang bersekolah di SD Islam tertua di salah satu pulau terkaya di Indonesia, SD Muhammadiyah Belitong.  Mereka adalah Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan Harun, yang kemudian disebut Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah.  Meskipun keadaan sekolah mereka berbanding terbalik dengan keadaan SD PN Timah yang mewah dan memiliki murid dari kalangan orang terpandang, namun di sekolah kumuh itu mereka dapat belajar dengan gigih bersama guru mereka yang luar biasa, Bu Muslimah dan Pak Harfan yang telah menanamkan budi pekerti mulia di samping ilmu pengetahuan  untuk bekal meraih mimpi.
Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tersebut akan dikaji dengan teori sosiologi sastra Swingewood. Dalam buku The Sociology of Literature, Swingewood (1972:11-12) memberikan batasan mengenai pengertian sosiologi dan sastra. Menurut Swingewood: Sociology is essentially the scientific, objective study of man in society, the study of social institutions and of social processes, artinya sosiologi adalah pendekatan ilmiah yang menekankan analisis secara objektif tentang manusia dalam masyarakat, tentang lembaga kemasyarakatan, dan proses-proses sosial. Selanjutnya, mengenai sastra, Swingewood menyatakan literature too is pre-eminently concerned with man’s social world, his adaptation to it, and his desire to change itu, artinya sastra juga terkait dengan dunia kemasyarakatan itu dan keinginannya melakukan perubahan  terhadap dunia kemasyarakatan.
            Berdasarkan pendapat Swingewood di atas, diperoleh gambaran bahwa antara sosiologi dan sastra memiliki persamaan dalam hal objek atau sasran yang dibicarakan. Objek atau sasaran yang dimaksud adalah manusia dalam masyarakat serta segala aspek yang berkaitan dengan masyarakat itu. Hubungan sosiologi dengan sastra, menurut Swingewood (1972:31) bersifat dialektis; literature is not only the effect of social causes but also the cause of social effects (sastra tidak hanya memberi dampak pada masyarakat tetapi juga menerima dampak dari masyarakat).
            Dalam konsep sosiologi sastra Swingewood, terdapat tiga perspektif yang dapat digunakan untuk melihat fenomena sosial dalam karya sastra. Ketiga perspektif itu dapat diuraikan sebagai berikut.
1.     The most popular perspective adopts the documentary aspect of literature, arguing that is provides a mirror to the age, artinya perspektif yang paling popular mengambil aspek dokumenter sastra yang memberikan perhatian pada cermin zaman (Swingewood dan Laurenson, 1972:13). Perspektif ini memfokuskan perhatian pada teks sastra sebagai objek kajian dengan asumsi dasarnya adalah bahwa karya sastra merupakan cerminan zaman.
2.     The second approach to literary sociology moves aways from the amphasis on the work of literature it self to the production side, and especially to the social situation of the writer, artinya perspektif kedua tentang sosiologi sastra mengambil cara lain dengan memberikan penekanan pada bagian produksi dan lebih khusus pada situasi sosial penulis (Swingewood dan Laurenson, 1972:17). Pada perspektif kedua ini fokus penelitian diarahkan pada pengarang sebagai pencipta karya sastra. Perspektif kedua ini bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra merupakan cermin situasi sosial penulis.
3.     A third perspective, one demanding a high level of skills, attempts to trace the ways in which a work of literature is actually received by a particular society at a specific historical moment, artinya perspektif ketiga menuntut satu keahlian yang lebih tinggi, mencoba melacak bagaimana suatu karya sastra benar-benar diterima oleh masyarakat tertentu pada suatu momen sejarah tertentu (Swingewood dan Laurenson, 1972:21). Perspektif ketiga ini memfokuskan perhatian pada penerimaan masyarakat terhadap karya sastra terkait dengan momen sejarah. Asumsi dasarnya adalah karya sastra sebagai refleksi peristiwa sejarah.
Ketiga perspektif tersebut dapat diterapkan bersama-sama dan dapat pula dipilih sebagian untuk dijadikan alat analisis. Pada pembasan ini, dipilih perspektif pertama yaitu karya sastra sebagai dokumen sosial budaya dan cerminan zaman.
Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata memiliki latar waktu sekitar tahun 1970-an. Keadaan sosial-budaya yang terdapat di dalam novel ini merupakan cerminan sosial yang terjadi pada tahun itu. Hal ini dapat dikaitkan dengan keberadaan Perusahaan Negara (PN) Timah yang menjadi salah satu latar tempat dan latar sosial masyarakat Gedong (kompleks para petinggi PN) dalam novel ini.  Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Belitong dalam batas kuasa eksklusi PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yng termasyhur di seluruh negeri Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geograi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong—sebuah pulau kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. (LP:39)

Pada kutipan tersebut dijelaskan PN Timah berada di Pulau Belitong dengan berbagai fasilitas mewah di dalamnya. Perusahaan timah tersebut berjaya sekitar  tahun 70-an.  Hal-hal yang lebih menguatkan latar waktu terjadi pada akhir tahun 70-an juga terdapat dalam kutipan berikut.
……………………………………………………………………….          
Keadaan mendesak sebab malam itu ada pertandingan film badminton All England antara Svend Pri dan Iie Sumirat.  (LP : 153)

Pada kutipan di atas terdapat ciri-ciri yang mendeskripsikan latar waktu tahun 70-an, yaitu pertandingan badminton All England antara Svend Pri dan Iie Sumirat yang terjadi pada tahun 1979.
Novel Laskar Pelangi mengangkat kisah kehidupan masyarakat Melayu Belitong yang miskin dan berada di bawah hegemoni pertambangan timah besar, PN Timah. Latar perkampungan Melayu yang diceritakan dalam novel ini adalah Gantong, desa pesisir yang hanya memiliki satu Sekolah Dasar berbasis Islam yang keadaannya sama memprihatinkan dengan kampungnya. Jarang ada orang tua yang mau menyekolahkan anaknya di sana, bahkan sekolah itu akan ditutup apabila tidak bisa memenuhi kuota murid sepuluh orang.
Untunglah pada saat itu SD Muhammadiyah Gantong bisa memenuhi kuota dengan masuknya Harun, anak keterbelakangan mental yang menjadi murid ke sepuluh saat pendaftaran murid baru. Sekolah itu sangat miskin dan tidak mendapat perhatian dari pemerintah, salah satu faktornya mungkin karena sekolah itu tidak menyumbangkan prestasi apa-apa, apalagi kalau dibandingkan dengan SD PN Timah yang kaya dan selalu membanggakan Belitong. Atapnya hampir roboh karena tiang penyangganya sudah lapuk dan bangunan itu lebih layak disebut gudang kopra daripada sekolah.  Pada saat mereka baru sekolah di SD miskin itu, mereka sering mengeluh karena sekolah itu tidak sebagus sekolah-sekolah lain yang tidak pernah bocor pada musim hujan. Deskripstif SD Muhammadiyah Gantong Belitong ini terdapat pada kutipan berikut.
Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci? (LP : 19)
Salah satu murid SD Muhammadiyah Gantong bernama Lintang, murid yang paling jauh rumahnya. Ia adalah salah satu potret kehidupan masyarakat miskin Melayu pada zaman PN Timah masih Berjaya. Setiap hari ia harus mengayuh sepeda puluhan kilometer untuk bersekolah.  Ia begitu pantang menyerah dan mencintai sekolah meskipun di tengah perjalanan harus berhadapan dengan buaya ganas. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.
Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan Bodenga seperti yang aku alami, tapi bukan baru sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke sekolah. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri membayangkan perjalanannya. (LP : 93)

Kehidupan Lintang sangat miskin. Ia tinggal di rumah kumuh di pesisir bersama empat belas anggota keluarganya. Mereka tidak bekerja dan sepenuhnya menggantungkan hidup kepada ayah Lintang. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.
Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua orang adik laki-laki ayah Lintang, yaitu seorang pria muda yang kerjanya hanya melamun saja sepanjang hari karena anak terganggu jiwanya dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras karena menderita burut akibat persoalan kandung kemih. Maka ditambah lima adik perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuanya, seluruhnya berjumlah empat belas orang. Mereka hidup bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit memanjang itu. (LP : 100)

            Lintang mempunyai keyakinan, agar bisa merubah nasib di masa depan adalah dengan cara bersekolah supaya menjadi cerdas. Apabila seseorang berpendidikan, maka akan memperoleh peluang untuk memasuki dunia kerja yang penuh persaingan dan dengan itu dapat meningkatkan status sosial serta mengeluarkan keluarganya dari kemiskinan yang berkepanjangan. Oleh karena itu Lintang memiliki mimpi dan semangat yang besar, semangat yang kemudian ditularkan kepada tokoh Aku (Ikal).
Di sisi lain SD Muhammadiyah yang berdiri di tengah perkampungan masyarakat Melayu miskin, terdapat  Gedong yaitu kawasan mewah milik PN Timah yang dijaga ketat oleh Polsus dan aturan khas zaman kolonial, dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak.  Orang-orang di luar PN Timah dilarang masuk dan menggunakan fasilitas yang ada di dalam tembok pemisah antara Gedong dan masyarakat luar Gedong.  Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancing masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, menginterogasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement  tipikal kompeni. (LP : 43)

Penggambaran dua sisi kehidupan yang berbeda dalam  novel ini begitu kontras, antara masyarakat miskin Melayu dan orang-orang Gedong yang mayoritas bukan Melayu (pendatang dari Jawa, dan sebagainya) sekaligus penguasa PN Timah. Keberadaan orang-orang Non-Melayu yang justru menguasai perekonomian di Belitong dengan perusahaan timah besar itu juga mencerminkan tingkat pendidikan dan kelas sosial mereka. Orang yang berpendidikan tinggi menguasai perekonomian dan memiliki kelas sosial tinggi pula. Orang yang tidak menguasai perekonomian dan produksi, dalam novel ini masyarakat Melayu Belitong, termasuk dalam kelas sosial rendah karena mereka tidak berpendidikan tinggi.
Apabila dilihat secara umum dan menyeluruh, masyarakat Melayu Belitong berada pada kelas sosial rendah apabila dibandingkan dengan masyarakat Gedong. Tetapi di dalam masyarakat Melayu Belitong sendiri memiliki tingkatan kelas sosial sendiri, yaitu tingkatan atas pengakuan masyarakat yang ada secara alami. Hal ini berupa gelar pada nama (garis keturunan), pekerjaan, dan kedudukan dalam masyarakat. Misalnya, Pak Harfan (Kepala Sekolah SD Muhammadiyah) memiliki nama depan (gelar) Ki Agus yang merupakan garis keturunan Kerajaan Belitong. Ia memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat Belitong karena gelar dan jabatannya yang mulia sebagai kepala sekolah sehingga ia amat dihormati dan diteladani. Status sosial dalam masyarakat ini tidak hanya ditentukan oleh hal-hal tadi, namun budi pekerti pun berperan penting.
K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A mengalir dalam garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya. (LP : 20)

Sedangkan pada masyarakat Gedong, kelas sosial ditentukan oleh bentuk legitimasi status dengan mengkotak-kotakkan wilayah dan kekuasaan. Salah satunya, hal ini ditandai dengan adanya larangan-larangan yang ditentukan oleh Gedong terhadap “yang tidak memiliki hak” (non-Gedong) agar tidak bercampur dengan wilayah kehidupan mereka. Masyarakat non-Gedong adalah The Other dan mereka harus dibedakan posisinya dengan Gedong. Keadaan seperti ini menganut pemikiran kompeni dan sangat kolonial. Jika Belanda memandang Indonesia adalah The Other, alien, sesuatu yang rendah (padahal Indonesia adalah pribumi), dalam tatanan Belitong tahun 1970-an The Other adalah Melayu Belitong yang pada kenyataannya merupakan pribumi tetapi yang berkuasa adalah orang-orang pendatang.
Potret kehidupan glamor kelas elite Belitong tercermin pada kehidupan tokoh Floriana, anak Kepala Kapal Keruk PN Timah. Ia tinggal di dalam rumah mewah komplek perumahan eksklusif Gedong dan dilimpahi fasilitas lengkap yang tidak pernah dirasakan masyarakat miskin Melayu Belitong. Flo anak yang tomboy. Orangtuanya berusaha menjadikan Flo perempuan sejati, salah satunya dengan mendatangkan guru privat untuk mengajarinya bermain piano tetapi usahanya tidak berhasil.  Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.
Namun, selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar lamat-lamat denting piano dari salah satu kastil Victoria yang tertutup rapat berpilar-pilar itu. Floriana atau Flo yang tomboi, salah seorang siswa sekolah PN, sedang les piano. Guru privatnya sangat bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk tanpa minat. Kedua tangannya menopang wajah murungnya sambil menguap berulang-ulang di samping sebuah instrumen megah : grand piano merk Steinway and sons yang hitam, dingin, dan berkilauan. Wajah  Flo seperti kucing kebanyakan tidur dan bangun magrib-magrib. (LP : 46)

Kehidupan Flo berbanding terbalik dengan sepuluh murid SD Muhammadiyah, seperti tokoh Aku (Ikal) yang hanya diberi sepatu bekas oleh ayahnya yang kuli PN Timah pada hari pertama menjadi murid SD dan Lintang yang harus menempuh perjalanan puluhan kilometer demi pendidikan. Pada waktu yang bersamaan dengan pendaftaran murid SD Muhammadiyah, SD PN Timah pun tengah merayakan pendaftaran murid baru. Suasananya sangat berbeda dengan di SD Muhammadiyah yang dilanda kekhawatiran akan ditutup jika murid barunya tidak berjumlah sepuluh. Pendaftaran murid baru di SD PN begitu meriah dan bergelimang kemewahan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.
Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan penuh sukacita. Puluhan mobil mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar. Ada bazaar dan pertunjukan seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir sebanyak 40 siswa dan palingg tidak ada 4 kelas untuk tiap-tiap tingkat. SD PN tidak akan membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang kekurangan murid karena sekolah itu memiliki sumber daya yang melimpah ruah untuk mengakomodasi barapa pun jumlah siswa baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan, hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi dilungsurkan ke sekolah lain. (LP : 60)

Letak SD Muhammadiyah dan SD PN Timah berdekatan, namun dari segi fasilitas dan kualitas sangat berbeda. Hal ini menunjukan siapa masuk kelompok siapa dan siapa disokong siapa. SD PN adalah milik PN Timah, murid dan gurunya pun merupakan orang-orang yang punya kelas sosial tinggi di lingkungan PN, sehingga fasilitas pun melimpah dan mewah karena untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. SD Muhammadiyah bukan termasuk golongan PN, sehingga masalah fasilitas dan kualitas bukan tanggungjawab PN karena orang-orang di lingkungan SD Muhammadiyah bukan orang PN.
Kehidupan yang tergambar pada kutipan-kutipan di atas sangat kontras dengan keadaan perkampungan Melayu. Di sisi luar tembok pembatas Gedong terdapat perkampungan kumuh orang Melayu yang menjadi latar sosial novel ini. Dalam kehidupan mereka tidak mengenal hal-hal semacam grand piano Steinway and sons dan gaya Victoria.  Anak-anak mereka banyak karena tidak mempunyai cukup sarana hiburan memadai layaknya di Gedong. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.
Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi indrustri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya anak enam belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.
 (LP : 50)

Kehidupan orang-orang dewasa di perkampungan itu pun setiap harinya begitu monoton.  Ribuan orang berusia produktif berangkat ke tempat kerja masing-masing begitu kantor pusat PN Timah membunyikan sirine tepat pada pukul 06.50.  Rutinitas orang pinggiran itu terdapat dalam kutipan berikut.
Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak sontak berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10. Sirine itu memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti peringatan serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour.
Demi mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung, jalan-jalan kecil, sudut-sudut kampung, dan gang-gang sempit bermunculanlah para kuli PN bertopi kuning membanjiri jalan raya. Mereka berdesakan, terburu-buru mengayuh sepeda dalam rombongan besar atau berjalan kaki, karena sepuluh menit lagi jam kerja dimulai. Jumlah mereka ribuan. (LP : 52-53)

            Di luar Gedong, penduduk Belitong terdiri atas beragam etnis, bukan hanya Melayu. Ada orang Tionghoa dan suku-suku lain seperti orang pulau bersarung, dan orang-orang Sawang. Mereka hidup berdampingan dengan rukun meskipun agama, kepercayaan, dan gaya hidup mereka berbeda-beda. Misalnya, dalam upacara-upacara keagamaan, terutama perayaan orang Tionghoa yang terbilang mewah dan meriah, dihadiri dan dimeriahkan oleh masyarakat non-Tionghoa yang tentunya berbeda keyakinan (Melayu beragama Islam, orang Sawang dan bersarung menganut animisme, dll). Dalam upacara keagamaan tersebut mereka melebur menjadi satu, tidak terkotak-kotakkan oleh garis keturunan dan ras, sejatinya mereka adalah makhluk ciptaan Tuhan. Upacara itu menjadi sarana untuk beribadah (bagi penganut agama itu), berinteraksi, mencari rezeki, dan hiburan.
Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul. Tak jarang anak-anaknya yang merantau pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat disebut sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung kami: orang Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang berkumpul. (LP : 259)

Masyarakat Melayu Belitong menganut agama Islam. Penganut Islam taat, seperti Pak Harfan, Bu Muslimah, ibunya Ikal, mereka sangat menentang hal-hal pembuat musyrik, seperti perdukunan, ramalan, sihir, mantera, dan sebagainya, seperti halnya penganut Islam taat di dunia. Namun ada pula segelintir penganut Islam yang tidak begitu taat dan goyah, yang percaya pada hal-hal gaib mengarah pada musyrik. Orang Melayu Belitong tipe ini percaya pada kekeramatan, kesaktian, perdukunan, dan mantera-mantera sakti. Mereka bahkan rela berkorban besar demi hal itu. Sebagai bukti kepercayaan mereka terhadap hal-hal gaib, terbentuklah Societeit de Limpai yang digadang-gadang oleh Mahar, salah seorang murid SD Muhammadiyah yang nyentrik dan banyak terpengaruh oleh pemikiran mistis Floriana. Salah satunya mereka percaya terhadap tuah Tuk Bayan Tula, dukun sakti mandraguna di Pulau Lanun yang terkenal sangat angker.

Kini Tuk menyepi di pulau tak berpenghuni. Nama Tuk Bayan Tula sendiri adalah nama yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut orang sakti di Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang selalu memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula, bahasa Belitong asli, artinya kualat, mungkin jika kurang ajar dengan beliau orang bisa langsung kualat.  (LP : 313)

Anggota Societeit de Limpai pun setuju dengan rencana itu karena mereka ingin melihat wajah dukun sakti yang diidolakan itu. Mereka pun rela mengorbankan harta untuk membiayai ekspedisi besar ke Pulau Lanun itu.  Harta paling berharga satu-satunya pun rela digadaikan dan dijual.  Perjalanan mereka pun menuntut pengorbanan yang lebih besar daripada itu dan sangat mengancam keselamatan.  Di tengah laut kapal mereka dihantam pusaran angin dan ombak ganas. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan merelakan tabungan uang saku selama dua bulan yang ada dalam tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu sebuah radio transistor dua band merk Philip, si pengangguran menggaruk-garuk sampah untuk tambahan ongkos, sang mahasiswa drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ tunggal menggadaikan electone Yamaha PSR sumber nafkahnya.
Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas memecahkan celengan ayam jago disaksikan tangisan anak-anaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam, sang pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang digotong empat orang—dan menimbulkan keributan besar dengan istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli murah oleh Tuan Pos. (LP : 406)

            Kepercayaan terhadap mantera sakti dan perdukunan dilatabelakangi oleh keinginan mencapai suatu keinginan dengan cara pintas yang mudah. Siswa yang ingin nilainya bagus, orang yang banting tulang berusaha mencari nafkah tetapi tidak kunjung berhasil, kemiskinan yang terus melilit, menjadi faktor-faktor paling strategis yang mendorong hasrat manusia ingin mencoba jalan pintas sarat akan janji-janji menggiurkan bernama perdukunan. Kepercayaan seperti ini tumbuh subur di tengah masyarakat kelas sosial rendah. Tetapi kesaktian perdukunan tidak bisa mengelakkan realita. Mereka tetap miskin dan harta yang ada malah ludes untuk biaya dukun. Tetapi dalam novel ini hal tersebut menjadi semacam satire, dimana dukun pujaan Societeit de Limpai, Tuk Bayan Tula, menuliskan mantera amat sakti yang intinya apabila ingin pintar maka harus belajar. “Mantera” tersebut menjadi sindiran sekaligus kritik terhadap orang-orang yang kurang berilmu dan miskin tetapi tidak mau berusaha dan memilih jalan pintas yang salah untuk mencapai keinginan. Bukan hanya kritik terhadap masyarakat tertentu, tetapi untuk karakter bangsa itu sendiri (meskipun tidak semua begitu).
Salah satu hal yang tidak bisa dihindari dan dihapus mantera sakti mandraguna adalah garis takdir seseorang, yang dalam novel ini dialami oleh Lintang. Setelah berhari-hari tidak sekolah, datanglah sepucuk surat dari Lintang untuk guru-guru SD Muhammadiyah dan teman-teman Laskar Pelangi. Surat singkat itu mengabarkan bahwa ayah Lintang telah meninggal. Maksud kalimat besok aku akan ke sekolah adalah besok ia akan datang ke sekolah untuk perpisahan dengan teman-teman dan gurunya. Lintang tidak mungkin melanjutkan sekolah karena ia adalah anak laki-laki tertua di keluarganya sebagai pengganti ayahnya yang diandalkan sebagai tulang punggung.  Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. la sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi. (LP : 430)

Anak sejenius Lintang harus putus sekolah karena ayahnya meninggal dunia dan keluarganya yang lemah tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidup apabila ia memaksakan diri melanjutkan sekolah. Padahal ia ingin mengejar cita-cita luhurnya yaitu menjadi matematikawan, satu-satunya impian yang sangat asing bagi orang Melayu miskin pada zaman itu.  Teman-temannya yang telah belajar selama sembilan tahun bersamanya melepas kepergiannya dengan berat hati dan penuh kesedihan.
Di dalam hati Ikal, ia menyesali dirinya yang tidak bisa menolong teman jeniusnya itu karena keluarganya pun miskin. Ia pun membenci penduduk Gedong yang selalu berpesta pora sementara di balik tembok feodal yang mengkotak-kotakkan kesempatan itu anak Melayu miskin secemerlang Lintang harus mengubur cita-citanya karena kenyataan pahit yang dialaminya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini, hari yang membuat gamang seorang laki-laki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang bunga meriam ini tak 'kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun. Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling, karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup. (LP : 432)

Tidak semua murid SD Muhammadiyah berakhir seperti Lintang. Ada kejutan indah diberikan oleh Syahdan, orang yang dulu pernah bersikeras ingin menjadi aktor. Setelah bosan hanya menjadi aktor figuran di Jakarta, ia iseng-iseng kursus komputer.  Mulai saat itulah ia mengetahui bakat sesungguhnya, yaitu programming komputer.  Setelah bekerja sebagai network designer ia mendapat beasiswa kursus singkat di Jepang dan kini ia bekerja di perusahaan multinasional terkemuka di Tangerang dengan posisi sebagai Information Technology Manager. Ia membuktikan bahwa status sosial, kedudukan, dan hal-hal semacam itu dapat diraih oleh pendidikan dan usaha yang sungguh-sungguh. Seseorang yang ingin sukses, bukan mengandalkan cara instan mantera sakti perdukunan, namun oleh usaha yang pantang menyerah.
Sayangnya sampai hampir tiga tahun berikutnya ia masih saja seorang aktor figuran. Lalu ia bosan berperan sebagai figuran makhluk-makhluk aneh: tuyul, setan, dan jin-jin kecil karena tubuhnya yang mini dan berkulit gelap. Ia juga bosan menjadi pesuruh ini itu di sebuah grup sandiwara tradisional kecil yang sering manggung di pinggiran Jakarta.
………………………………………………………………………..
Di tengah kemelaratannya Syahdan yang malang iseng-iseng kursus komputer dan di tengah perjuangan mendapatkan kursus itu ia nyaris menggelandang di Jakarta.
Di luar dugaan, orang lain umumnya mengetahui bakatnya ketika masih belia tapi Syahdan baru tahu kalau ia berbakat mengutak-atik program komputer justru ketika sudah dewasa. Dengan cepat ia menguasai berbagai bahasa pemrograman dan dalam waktu singkat ia sudah menjadi network designer. Tahun berikutnya sangat mengejutkan. Ia mendapat beasiswa shortcourse di bidang computer network di Kyoto University, Jepang. Di sana ia berhasil mencapai kualifikasi keahliannya dan menjadi salah satu dari segelintir orang Indonesia yang memiliki sertifikat Sisco Expert Network. Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian Syahdan, pria liliput putra orang Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor pusat di Tangerang. Dari sudut pandang material Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang paling sukses. Ia yang dulu selalu menjadi penerima perintah, tukang angkat-angkat, dan tak becus terhadap sesuatu yang berbau teknik, kini memimpin divisi inovasi teknologi dengan ratusan anak buah. (LP : 479)

Kutipan di atas menggambarkan perjuangan Syahdan yang pantang menyerah. Orang yang dulu dianggap tidak berbakat apapun kini dari segi material ia paling sukses di Laskar Pelangi. Pada saat sebagian besar anggota Laskar Pelangi yang dulu menempuh pendidikan di sekolah paling miskin di Belitong telah sukses, lain halnya dengan PN Timah. Perusahaan timah raksasa penguasa Belitong yang menciptakan kasta sosial di tanah itu ditutup karena pada tahun 1987 harga timah dunia merosot.  Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000 USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK. (LP : 481)

Orang-orang PN Timah pun nasibnya berbanding lurus dengan perusahaannya.  Mereka yang dulu hidup penuh kenikmatan dalam gelimang kemewahan harus merasakan kemelaratan. Anak-anak mereka yang masih sekolah di PN dilungsurkan ke sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung karena sekolah PN juga dibubarkan.
Yang terpukul knock out tentu saja orang-orang staf. Tidak hanya karena secara mendadak kehilangan jabatan dan hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem. (LP : 485)

Sekolah-sekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok menjadi lokasi shooting acara misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung. (LP : 484)

Setelah PN Timah runtuh, masyarakat Belitong mendulang timah dengan cara alamiah. Hasil produksinya ternyata lebih besar daripada PN Timah yang menggunakan 16 buah kapal keruk dan didukung oleh teknologi canggih.  Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Saat ini diperkirakan tak kurang dari 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong. Mereka menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk memisahkan bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian seperti tarzan namun menghasilkan 15.000 ton timah per tahun. Jumlah itu lebih tinggi dari produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk, tambang-tambang besar, dan open pit mining , serta dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti kegagalan metanarasi kapitalisme. (LP : 486)

The most popular perspective adopts the documentary aspect of literature, arguing that is provides a mirror to the age, artinya perspektif yang paling populer mengambil aspek dokumenter sastra yang memberikan perhatian pada cermin zaman (Swingewood dan Laurenson, 1972:13). Novel Laskar Pelangi merupakan cermin zaman dari kehidupan Andrea Hirata pada masa kecil, yaitu pada tahun 1970-an ketika PN Timah berjaya. Novel ini mengangkat kehidupan sosial masyarakat Belitong yang multietnis, sarat budaya, yang terbingkai dalam kisah perjuangan pendidikan SD Muhammadiyah dengan sepuluh murid dan dua orang gurunya yang luar biasa. Cerita tersebut sekaligus dilatarbelakangi oleh kejayaan PN Timah hingga perusahaan tambang besar itu gulung tikar yang mengakibatkan chaos pada masyarakat Gedong. Novel ini bukan sekadar cerita sepuluh orang anak yang terhimpun dalam nama Laskar Pelangi, namun sebagai kritik, satire, dan mengandung pesan berupa harapan, mimpi, dan aspirasi, terutama dalam bidang pendidikan.
Dalam kaitannya dengan persoalan itu, Swingewood menyatakan bahwa karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang besar mengandung kecemasan, harapan, dan aspirasi masyarakat. Itulah sebabnya, karya sastra dapat dijadikan alat untuk mengukur perilaku dan nilai-nilai yang dirumuskan dan yang diwujudkan dalam masyarakat. Sastra selalu mencerminkan norma dan sikap sosial. Nilai-nilai yang tercermin dalam sastra adalah nilai yang diniatkan oleh penulis (Swingewood dan Laurenson, 1972:15).


 DAFTAR PUSTAKA


Hirata, Andrea. 2010. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Swingewood, Alan dan Diana Laurenson. 1972. Sociology of Literature. London: Paladin

Membaca Konsep Nation dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata : Tinjauan Poskolonialisme Shara Upstone


Pada tahun 2005 sastra Indonesia diramaikan oleh novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Pengarang ini tidak dikenal sebelumnya dan novel ini merupakan karya sastra pertamanya.  Andrea Hirata mengangkat kisah perjuangan sepuluh orang anak miskin Melayu Belitong untuk mendapatkan pendidikan dan berani memiliki cita-cita luhur.  Novel ini mewakili kehidupan sosial dan budaya masyarakat Melayu yang tinggal di Pulau Belitong,  salah satu pulau Indonesia yang tidak pernah diangkat ke dalam karya sastra populer.  Perjuangan anak-anak miskin menempuh pendidikan, penggambaran sosial-budaya Melayu, dan penyampaian cerita yang dikemas dalam bahasa bertabur metafora yang cerdas menjadikan novel ini best seller.
Andrea Hirata adalah novelis Indonesia yang lahir dan besar di Pulau Belitong.  Ia tidak dikenal sebelumnya, namun secara mengejutkan langsung menulis tetralogi yang menjadi best seller di Indonesia maupun di luar negeri. Andrea Hirata mempunyai gaya tersendiri dalam penciptaan karyanya dengan gaya realis bertabur metafora yang berani, tidak biasa, tidak terduga, dan amat memikat.  Di dalam novel-novelnya ia memadukan sains dengan sastra dan walau penyampaiannya sederhana tetapi tidak mengurangi keindahan kata yang dirangkainya. Ia telah menulis enam novel yang telah beredar secara internasional di bawah sebuah literary management  di New York.  Novel-novel tersebut adalah Laskar Pelangi (The Rainbow Trops), Sang Pemimpi (The Dreamer), Edensor (Edensor), Maryamah Karpov (yang ia rencanakan edisi globalnya berjudul The Strange Rhythm), Padang Bulan, dan Cinta di Dalam Gelas (The Field of the Moon).
Salah satu novel Andrea Hirata yang terkenal adalah Laskar Pelangi. Novel Laskar Pelangi merupakan novel pertama dari tetralogi fenomenal Laskar Pelangi.  Novel ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 2005 dan menjadi novel best seller yang terjual 600.000 eksemplar.
Novel Laskar Pelangi ini menceritakan tentang kehidupan sepuluh anak dari keluarga miskin yang bersekolah di SD Islam tertua di salah satu pulau terkaya di Indonesia, SD Muhammadiyah Belitong.  Mereka adalah Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan Harun, yang kemudian disebut Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah. Di sekolah kumuh itu mereka dapat belajar dengan gigih bersama guru mereka yang luar biasa, Bu Muslimah dan Pak Harfan yang telah menanamkan budi pekerti mulia di samping ilmu pengetahuan  untuk bekal meraih mimpi.
Hal yang akan diangkat dalam pembahasan ini adalah konsep nation yang dikemukakan Sara Upstone dalam konteks wacana poskolonial, dengan mengangkat masalah place, apropriasi, resistensi, dan chaos. Place menjadi fokus ada tiga, yaitu Gedong (lahan sosial petinggi PN Timah, termasuk sekolahnya), kampung Melayu Belitong, dan SD Muhammadiyah Gantong Belitong.

A.    Smaller than Nation
Teverson dan Upstone (2011:2) menulis, the idea that place plays a significant role in how one defines one’s own identify and, equality, how that identify is defined by others, is continually foregrounded in postcolonial studies.
Studi-studi poskolonial seringkali membedakan antara space sebagai abstraksi kosong dan place sebagai lokasi material dengan nama tertentu, dengans ejarah tertentu. Place ini bisa beragam bentuknya, mulai dari kekuasaan atas citra, control terhadap keberagaman, dan jargon-jargon nasional tentang stabilitas, nasionalisme, keamanan, dan sebagainya. Setiap manusia dalam sebuah nation bisa mengidentifikasi identitasnya sejauh batas-batas tersebut tidak dilanggar. Batas-batas inilah yang memainkan peran penting dalam bagaimana orang mendefinisikan identitasnya dan bagaimana identitas itu didefinisikan oleh orang lain. Nation dengan demikian merupakan salah satu strategi manipulasi kolonial terhadap batas-batas nasional di negara-negara bekas jajahan. Nation adalah place itu sendiri.
Upstone menjabarkan mengenai ruang yang lebih kecil dari ruang-bangsa (nation). Di sini, rasa memiliki yang etnis minoritas bertujuan untuk menghasilkan tidak berarti mengambil alih seluruh kota, melainkan melibatkan perbedaan pada tingkat bangunan politik dan ruang terbuka tertentu membangun kota. Menurut Nestor Garcia, ruang memiliki fakta kekerasan dan ketidaknyamanan yang tidak dapat diabaikan, yang menjadikan lebih selektif dalam kehidupan sosial. Perpindahan menuju ruang yang lebih kecil merupakan alternatif lain yang meliputi seluruh kota. Dalam konteks pascakolonial, place juga sering disandingkan dengan upaya membangun kembali re-building) suatu geografi imajiner pascakolonial yang dapat menandiangi geografi material yang dibangun oleh wacana-wacana kolonial.
Novel ini berlatar tempat di Belitong sekitar tahun 1970-an. Place yang dibahas dalam hal ini adalah kota di Pulau Belitong dimana etnis Melayu, Tionghoa, dan subetnis lainnya seperti orang Sawang, orang bersarung, hidup berdampingan di bawah hegemoni PN Timah. Di kota ini terdapat dua wilayah yang berdampingan tetapi memiliki perbedaan yang mencolok, Gedong dan kampong Melayu Belitong. Perbedaan ini timbul karena adanya pengkotak-kotakan wilayah yang dilakukan oleh PN Timah.
Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yng termasyhur di seluruh negeri Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong—sebuah pulau kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. (LP:39)

            Tindakan tersebut merupakan kolonialisasi warisan penjajah. PN Timah maupun segala aset di dalamnya merupakan peninggalan Belanda dan tradisi dalam lingkupnya diwarisi oleh tradisi kolonial. Gedong yaitu kawasan mewah milik PN Timah yang dijaga ketat oleh Polsus dan aturan khas zaman kolonial, dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak. Orang-orang di luar PN Timah dilarang masuk dan menggunakan fasilitas yang ada di dalam tembok pemisah antara Gedong dan masyarakat luar Gedong. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK". Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwitz. Namun, tidak seperti Tembok Besar Cina yang melindungi berbagai dinasti dari serbuan suku-suku Mongol di utara, di Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah dominasi dan perbedaan status sosial. (LP: 31)
Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, menginterogasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement  tipikal kompeni. (LP : 43)
           
Tulisan “dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak”, border-border, dan polisi khusus merupakan wujud dan penegas batas wilayah yang menunjukkan kelas, kekuasaan, identitas, dan menciptakan space. Place bersifat politis karena ia juga melibatkan upaya-upaya sistematis dari wacana kolonial untuk membangun batas-batas. Untuk membangun place, kolonial membuat individu merasa bahwa identitasnya merupakan identitas asli dirinya. Ia menciptakan wacana dominan tersebut. Dengan membangun place, kolonial sedang berpolitik untuk membuat rumah tersebut senyaman mungkin kepada para penghuninya, seolah-olah rumah itu milik dirinya sendiri, seolah-seolah tanpa rumah ia merasa bukan bagian dari nation.
Pendatang yang menguasai ekonomi dan lahan sosial Belitong melalui pertambangan besar PN Timah menempati tanah Belitong, mengambil kekayaan alamnya,  namun di balik semua itu sekaligus memberikan peluang kerja bagi penduduknya yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Mereka menjadi kuli dan dari cara itu mereka mendapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang berjumlah banyak. Akibatnya penduduk Belitong non-Gedong tergantung pada PN Timah dan PN Timah leluasa mengembangkan koloninya. Untuk membuat place, PN Timah terlebih dahulu memegang kendali atas sumber daya alam yang vital di wilayah itu dan seiring dengan itu menciptkan space. Yang eksklusif untuk orang-orang Gedong PN Timah, yang kumuh untuk dipakai penduduk Belitong non-Gedong. Mereka menciptakan koloni yang menyamankan kehidupan mereka di tanah baru, hal ini berkaitan dengan apropriasi penduduk Gedong terhadap Belitong.
Pada masyarakat Gedong, kelas sosial ditentukan oleh bentuk legitimasi status dengan mengkotak-kotakkan wilayah dan kekuasaan. Salah satunya, hal ini ditandai dengan adanya larangan-larangan yang ditentukan oleh Gedong terhadap “yang tidak memiliki hak” agar tidak bercampur dengan wilayah kehidupan mereka. Yang tidak memiliki hak di sini adalah masayarakat di luar Gedong yaitu Melayu, Tionghoa, Sawang, dan lainnya. Wilayah Belitong yang tadinya berupa satu ruang luas dan terbuka bagi pribuminya, setelah ada PN Timah menjadi terdapat jarak dan ruang-ruang. Border dan larangan tertulis tersebut menjadikan ruang tidak lagi luas tetapi terbatas. Terbatas untuk kepentingan orang-orang Gedong PN Timah dan tertutup bagi orang di luar Gedong.
Masyarakat non-Gedong adalah The Other dan mereka harus dibedakan posisinya dengan Gedong. Keadaan seperti ini menganut pemikiran kompeni dan sangat kolonial. Jika Belanda memandang Indonesia adalah The Other, alien, sesuatu yang rendah (padahal Indonesia adalah pribumi), dalam tatanan Belitong tahun 1970-an The Other adalah Melayu Belitong yang pada kenyataannya merupakan pribumi tetapi yang berkuasa adalah orang-orang pendatang.
Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok feodalistis a la Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah. (LP: 36)

B.    Apropriasi PN Timah dalam Bentuk Gedong

Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu negeri asing yang jika berada di dalamnya orang akan merasa tak sedang berada di Belitong. Dan di dalam sana berdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh di Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau kecil itu. (LP: 31)

            Penduduk Gedong, yaitu orang-orang elite yang menguasai PN Timah mayoritas berasal dari luar Belitong, Pulau Jawa, maupun luar negeri. Mereka lulusan-lulusan luar negeri yang memiliki gelar panjang berbahasa Belanda dan juga jabatan penting PN Timah yang juga menggunakan Bahasa Belanda, seperti mollen bas atau Kepala Kapal Keruk Timah.
            Wilayah Belitong yang didominasi etnis Melayu-Belitong, Tionghoa, dan sub-subetnis lainnya (Sawang, dll) memiliki budaya yang kuat. Budaya ini diterapkan dalam bentuk arsitektur (model rumah, infrastruktur), interaksi sosial (keagamaan, interaksi antar etnis, kelompok sosial, perdagangan, warung kopi, dll), hiburan (pasar malam, bioskop, layar tancap, dll), perilaku, bahasa, pola konsumsi, pekerjaan, dan pendidikan. Hal-hal yang telah ada di sana tidak sesuai dengan budaya para pendatang. Pribumi Belitong tidak mengenal rumah gaya Victoria, mobil pribadi yang mewah, meja terracotta, minuman cocktail, les privat, penggunaan kalkulator di sekolah, dan sebagainya. Golongan ini membuat hal-hal seperti di wilayah baru mereka, membuat senyaman mungkin dengan mengadakan apa yang tidak ada agar merasa seperti berada dalam Home. Orang-orang PN Timah dan kehidupan di dalamnya yang terdapat dalam novel ini adalah pascakolonial, tetapi karena adanya warisan kolonial yang masih melekat kuat, keadaan ini masih sama kolonial dengan sebelumnya. Kutipan berikut ini menjabarkan kenyamanan dan eksklusifitas home orang-orang Gedong.

Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga 3 tua yang menjatuhkan butir-butir buah semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki jendela-jendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu ditempatkan pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai, temaram, dan sejuk. (LP:42)

Bukan hanya border dan tulisan “dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak” yang menciptakan space dengan The Other (non-Gedong). Antar penghuni Gedong pun  memiliki place masing-masing yang juga berkesan menjaga jarak. Rumah mereka menciptakan kesan indivialisme yang tinggi. Lahan-lahan sosial memang luas dan terbuka asal untuk orang Gedong, tetapi di sisi lain banyak pula yang bersifat terbatas seperti adanya kafe members only yang tentu saja orang yang bukan member (yang tidak memiliki hak) dilarang masuk, bagi orang Gedong sendiri lebih-lebih non-Gedong.
Salah satu contoh bentuk apropriasi Gedong dapat dilihat dari arsitektur rumah. Fenomena gaya Victoria sama halnya yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda. Mereka membangun rumah-rumahnya berdesain yang sama dengan arsitektur di negerinya. Mereka tidak membuat rumah yang bermodel sama dengan Indonesia karena agar koloni baru mereka rasanya seperti di negeri sendiri. Hal ini bisa jadi menjadi pemikiran dasar bahwa negeri baru tempatnya membuat koloni pun serasa (dianggap) sebagai tanah milik sendiri, termasuk pribumi dan kekayaan alamnya yang diatur oleh aturan mereka. Mereka membuat home senyaman mungkin bukan hanya untuk pribadi tetapi juga untuk menyamankan home yang ada di balik mereka (negera asal, Belanda misalnya).
Selain itu, mereka membuat sarana-sarana pendidikan dan infrastruktur lainnya untuk menyamankan koloni. Misalnya dalam hal sekolah, Belanda membangun itu hanya terbatas untuk golongannya sendiri dan pribumi yang boleh sekolah di situ hanya golongan kelas atas seperti anak pejabat tinggi dan priyayi. Sekolah ini pun menjadi sebuah place dalam lingkup “smaller than nation” yang memiliki space. Selalu ada jarak untuk membedakan kaum kolonial dengan liyan.
Pun demikian yang terjadi pada sekolah PN Timah. Sekolah ini eksklusif, lengkap, bertenaga pendidik berkualitas, dan mewah. Sekolah ini didirikan khusus untuk orang-orang Gedong. Adapun orang Melayu Belitong yang masuk di dalamnya adalah termasuk berkedudukan dan pejabatan penting dalam lingkup PN Timah. Orang yang berkedudukan sosial tinggi dalam lingkup Melayu Belitong (biasanya orang-orang terhormat dalam konteks “berbudi pekerti luhur” seperti guru, kyai, atau orang Tionghoa penguasa perekonomian pasar) tidak berkesempatan menyekolahkan anaknya di sana karena bukan lingkup Gedong dan pejabat penting PN Timah.
Sebagai kelanjutan dari apropriasi, muncul eksklusifitas di kalangan Gedong. Mengapa orang PN Timah melakukan apropriasi dalam bentuk Gedong? Karena tuntutan dan kebutuhan sosial mereka berbeda dengan pribumi Belitong. Bagi mereka, ada harga yang harus dibayar untuk membeli status dan simbol. Ada rumah gaya Victoria untuk menunjukkan citra elegan, berselera seni tinggi, dan berkuasa. Hal seperti ini lebih mengarah pada identitas diri.

C.   Resistensi dan Chaos

Meminjam istilah Jonestown mengenai mathematics of chaos, fungsi kekacauan bukan sebagai gangguan tak berujung melainkan memiliki arti keberagaman yang menjadi eksplisit dalam narasi. Kekacauan adalah kesalahpahaman fenomena anarkis. Kekacauan tidak hanya dilihat sebagai suatu hal yang tidak pernah berakhir. Dimana kemungkinan merupakan sebuah gambaran keterbukaan semesta. Sebuah kelanjutan yang keluar dari misteri masa lalu menuju masa depan yang benar-benar baru. Shwarz juga menyatakan bahwa kota postcolonial adalah turunan tetapi bukan bersifat acak maupun terbaca. Kekacauan yang harus dilihat bukan sebagai tidak pernah berakhir bermain bebas dari keributan tetapi gangguan agak kacau norma menyarankan potensi makna baru. Dalam kekacauan tersebut muncul kemungkinan bahwa sebagai kontinuitas ditelusuri antara lokasi yang tampaknya terputus, sehingga dalam proses seleksi alam ideal pada akhirnya akan tercapai.
Bentuk resistensi pribumi Melayu-Belitong salah satunya terdapat dalam pendidikan. Seperti yang telah diketahui, sekolah milik PN Timah sangat eksklusif, mewah, lengkap, bertenaga pengajar berkualitas, dan selalu juara dalam kompetisi apapun. Di kampung Melayu-Belitong terdapat sekolah Islam tertua bernama SD Muhammadiyah Gantong. Muridnya hanya sepuluh yang diajar oleh dua orang guru (Pak Harfan dan Bu Muslimah) sejak kelas 1 hingga lulus. Keadaanya sangat jauh dengan sekolah PN yang memiliki berbagai macam alat canggih untuk menunjang belajar. Kadang, murid-murid SD Muhammadiyah membaca buku-buku dan majalah ilmiah (seperti National Geographic) dari seorang anak Gedong (Floriana) yang bergaul dengan mereka. Bentuk resistensi ini berawal dari saat Bu Muslimah melihat potensi besar yang dimiliki anak didiknya dalam bidang akademis. Lintang yang jenius, Mahar yang punya bakat seni, dan yang lainnya (kecuali Harun) dapat diandalkan. Bu Muslimah yakin murid-muridnya dapat mengharumkan SD Muhammadiyah yang tidak pernah menjuarai apapun dan disepelekan. Pada karnaval Agustus antar sekolah Belitong, SD PN Timah akhirnya juara, mengalahkan SD PN Timah atas ide brilian Mahar memanfaatkan benda-benda alam sekitar menjadi kostum karnaval dan media menarikan tarian magis yang terinspirasi suku pedalaman Afrika. Tidak hanya itu. Kecerdasan Lintang dan kerjasama yang baik, mereka pun berhasil mengalahkan SD PN Timah dalam lomba cerdas-cermat paling bergengsi di Belitong. Lintang pun berhasil menumbangkan eksistensi guru terbaik SD PN Timah karena perdebatan sebuah teori fisika.
Upaya dan kejuaraan mereka sebagai simbol perlawanan terhadap mindset sekolah terbaik adalah sekolah PN. Sekolah kampung yang miskin dan hanya memiliki bangunan seperti gudang kopra tidak ingin selalu ditelantarkan dan dipandang sebelah mata. Pemikiran dan kecerdasan adalah alat paling ampuh untuk melakukan perlawanan terhadap kemilau perangkat-perangkat PN Timah. Dengan kejuaraan ini, pemerintah daerah pun akhirnya memberi perhatian pada sekolah ini, berupa gaji guru dalam bentuk beras, kiriman buku, dan lainnya. Penduduk Belitong lainnya pun mulai punya keinginan untuk menyekolahkan anaknya di sana. Sebelumnya, anak-anak Belitong tidak bersekolah dan setelah cukup umur mereka akan membantu orang tua menjadi kuli timah di PN. Dengan kejuaraan ini pula space (dalam pendidikan) antara Gedong dengan kampung Melayu-Belitong sedikit terbuka.
Pendobrak space ini adalah seorang anak Gedong bernama Floriana yang tomboy. Ia bersahabat dengan Laskar Pelangi (murid SD Muhammadiyah) setelah ia ditemukan Mahar ketika tersesat di hutan Gunung Selumar. Flo sering memberi mereka buku dan majalah dengan menjulurkan tangannya dari pagar kawat berduri yang menjadi border antara kompleks Gedong dengan kampung. Lebih dari itu, Flo yang sudah begitu akrab dengan mereka akhirnya pindah sekolah ke SD Muhammadiyah dengan cara memaksa ayahnya. Karena ia anak satu-satunya dan dimanja, ayahnya menyetujuinya. Untuk kepentingan nilai rapor anaknya pula sang ayah menyumbangkan macam-macam barang ke sekolah kampung itu, berupa buku, mesin pompa, papan tulis, dan lainnya. Tetapi pemberian-pemberian materi itu tidak bisa membeli objektivitas guru SD Muhammadiyah dalam memberi nilai.
Di bagian akhir cerita, perusahaan timah raksasa penguasa Belitong yang menciptakan kasta sosial di tanah itu ditutup karena pada tahun 1987 harga timah dunia merosot.  Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000 USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK. (LP : 481)

Orang-orang PN Timah pun nasibnya berbanding lurus dengan perusahaannya. Mereka yang dulu hidup penuh kenikmatan dalam gelimang kemewahan harus merasakan kemelaratan. Anak-anak mereka yang masih sekolah di PN dilungsurkan ke sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung karena sekolah PN juga dibubarkan.
Yang terpukul knock out tentu saja orang-orang staf. Tidak hanya karena secara mendadak kehilangan jabatan dan hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem. (LP : 485)

Sekolah-sekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok menjadi lokasi shooting acara misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung. (LP : 484)

Keadaan tersebut menjadi jungkir balik bagi penduduk Gedong. Mereka mengalami chaos karena adanya faktor dari luar yang lebih kuat, yaitu kondisi perekonomian dunia yang melemahkan harga timah. Sedangkan kehidupan mereka amat tergantung padanya, sehingga seperti menerima pukulan mematikan saat sumber kekayaan mereka direnggut dalam waktu cepat.
Penduduk Melayu Belitong juga membuat chaos sebagai wujud akhir resistensi mereka terhadap kekuasaan PN Timah. Setelah raksasa ekonomi itu tumbang, mereka yang telah lama memendam kemarahan melakukan perusakan dan penjarahan terhadap Gedong.
Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahankan sakit hati karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumah-rumah Victoria mewah di kawasan prestisus tak bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan dinding, rnenariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, mencabuti pagar, mencuri daun pintu dan jendela, mencongkel kusen, memecah- kan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa lari gorden.
Tanda-tanda peringatan "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK" diturunkan dan dibawa pulang untuk dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu tembok Berlin. Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar chesterfield dan makan di meja terracotta yang mahal, berpura-pura menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai menjarahnya. (LP: 485)

Setelah PN Timah runtuh, masyarakat Belitong mendulang timah dengan cara alamiah. Hasil produksinya ternyata lebih besar daripada PN Timah yang menggunakan 16 buah kapal keruk dan didukung oleh teknologi canggih.  Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Saat ini diperkirakan tak kurang dari 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong. Mereka menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk memisahkan bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian seperti tarzan namun menghasilkan 15.000 ton timah per tahun. Jumlah itu lebih tinggi dari produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk, tambang-tambang besar, dan open pit mining , serta dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti kegagalan metanarasi kapitalisme. (LP : 486)


DAFTAR PUSTAKA

Hirata, Andrea. 2010. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Teverson, Andrew dan Sara Upstone. “Introduction” (hlm. 1-14), dalam Andrew Teverson dan Sara Upstone. Postcolonial Spaces: The Politics of Place in Contemporary Culture. New York: Palgrave Macmillan, 2011.