Kamis, 21 September 2017

Recommended For You #1

 

Dear friends, 
Ini beberapa buku buat bekal pehobi petualangan alam bebas yang menurut aku recommended banget:
1. US Army Survival Manual, diterbitkan oleh Departement of the Field Manual.
2. Mountaineering, by Don Graydon & Kurt Hanson. Membahas serba-serbi teknik pendakian gunung, termasuk gunung es & pemanjatan tebing. 
3. The SAS Survival Handbook, disusun oleh tentara Inggris sarat pengalaman John Wiseman. Aku paling suka yang ini. Isinya lengkap. Membahas prepare perjalanan (termasuk mempersiapkan menghadapi kemungkinan terburuk), car accident and air disaster survival, teknik survival di berbagai medan (kutub, gunung, tropis, pulau terpencil, gurun, rawa,dll), teknik mencari makanan & air, teknik "camp craft", membaca & mengirim sinyal darurat, medical, rescue & teknik menghadapi ragam bencana alam. 
 4. Alam Asli Indonesia : Flora, Fauna, & Keserasian, oleh Kathy MacKinnon. Membahas tentang hutan Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Irian, habitat rawa, manusia & alam, suaka alam yang dapat dikunjungi. 
5. Ekologi, oleh Peter Farb. Mengupas tentang interaksi makhluk hidup dengan alam. Baca➡️Kenali➡️Pelajari. Bahwasannya tempat bermain kita sangat menakjubkan namun ia adalah "pembunuh berdarah dingin". Apakah karena pernah membaca itu "aku adalah ahli?" Of course NO! Kenyataannya, praktek sangat sulit & menguras kesabaran. Misal membuat api & memasak di saat hujan deras dengan kondisi sangat darurat (don't think about Tr*ngia & comfortable tent). Ya, baca. Praktekkan. Dengan "mengintip", sedikitnya akan tahu bahwa perjalanan di alam bebas tak cukup hanya mempersiapkan kamera dan muka. (Sumber buku : Pustaka dan Dokumentasi UPL MPA Unsoed)

Minggu, 17 September 2017

GUNUNG ARGOPURO (3.088 mdpl), SURGA DI TIMUR TANAH JAWA

(Catatan Perjalanan Tanggal 20-24 Juli 2011)
Gunung Argapuro merupakan bekas gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi. Gunung ini termasuk bagian dari pegunungan Iyang yang terletak di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Berada pada posisi di antara Gunung Semeru dan Gunung Raung. Ada beberapa puncak yang dimiliki oleh gunung ini. Puncak yang terkenal bernama Puncak Rengganis (topografichen Dienst, 1928). Sedangkan puncak tertingginya berada pada jarak ± 200 m di arah selatan Puncak Rengganis. Puncak tertinggi ini bernama Argapoera dan ditandai dengan sebuah tugu ketinggian (triangulasi). Gunung Argopuro mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit (kawasan hutan yang terdapat di ketinggian 300 – 750 mdpl), hutan Dipterokarp Atas (kawasan hutan yang terdapat di ketinggian 750 – 1.200 mdpl), hutan Montane (hutan pegunungan yang terdapat di ketinggian 1.200 – 1.500 mdpl), dan Hutan Ericaceous (hutan pegunungan yang terdapat di ketinggian lebih dari 1.500 mdpl). Gunung ini berada dalam pengawasan Sub BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) wilayah Jember. Gunung Argopuro merupakan gunung yang mempunyai jalur pendakian terpanjang diantara jalur gunung-gunung di Pulau Jawa lainnya. Memiliki peninggalan bersejarah dari Zaman Prasejarah hingga masa pendudukan Jepang. (https://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Argapura) 

 Rabu, 20 Juli 2011
 Setelah melakukan recovery pasca pendakian Gunung Raung jalur Sumber Wringin (17-19 Juli 2011) saya, Sigit, Hata, Fajar, dan Mas Dosso dari UPL MPA Unsoed melanjutkan perjalanan ke gunung berikutnya, Gunung Argopuro. Pukul 07.10 kami berangkat dari Pesanggrahan menuju terminal Bondowoso dengan menggunakan angkudes. Di terminal kami membagi tugas. Saya dan Hata belanja logistik di pasar, Fajar upload foto hasil dokumentasi Gunung Raung di warnet depan terminal, dan Sigit mengurus perizinan ke Jember. Untuk mengurus hal-hal itu membutuhkan waktu yang lama, sampai pukul 15.15. Dengan menggunakan bus kami berangkat menuju Pajarakan. Dari Pajarakan menggunakan angkudes terakhir pada pukul 17.40 menuju Pesanggrahan Bremi. Pesanggrahan Bremi sangat nyaman dengan fasilitas 5 kamar tidur dengan double bed dan kamar mandi dalam, ruang tamu, meja makan, dan berlantai kramik putih. Keadaan ruangan dan tamannya rapi dan terawat baik. Harga sewanya lebih murah dari harga sewa kamar utama di Pesanggrahan Sumber Wringin, yaitu Rp 50.000/malam. Di sana kami packing peralatan dan logistik. Kami pun meninggalkan barang yang dirasa tidak perlu di Pesanggrahan untuk mengurangi beban dan memaksimalkan pergerakan. Bahkan satu buah jerigen yang dibawa saya turut ditinggal. Gunung Argopuro tersedia banyak air sampai Rawa Embik. 

 Kamis, 21 Juli 2011 
 Jalur yang pertama kami lewati berupa jalan raya lalu berbelok ke jalan makadam di samping mesjid sampai ke perkebunan damar. Setelah melewati rumah penduduk, kami melintasi jalan tanah di tengah perkebunan kapas. Setelah perkebunan damar, barulah kami masuk jalan setapak. Jalurnya relatif datar dan menanjak cukup terjal menjelang triangulasi sebelum Danau Taman Hidup. Kami tiba di Danau Taman Hidup pada pukul 14.40. Danau Taman Hidup ibarat surga kecil di rerimbunan rimba Argopuro. Hamparan savana yang luas membentang di hadapan kami. Pohon-pohon cemara tumbuh menjulang tinggi seolah memagari savana. Permukaan danau yang tenang tampak hijau dan sejuk. Kabut tebal pun turun, menyelimuti kelengangan yang merengkuh erat Danau Taman Hidup. Sesekali angin kencang menyibak kabut, sejenak memperlihatkan keelokan pemandangan yang penuh warna. Di tepian danau kami bertemu dengan para pendaki yang tengah camp. Setelah berbincang-bincang sebentar kami mengambil air dari dermaga kecil yang sudah agak rusak. Dari dekat air danau tampak lebih hijau dan sejuk. Tumbuhan danau terhampar di tepian, bercermin di permukaan air. Belum puas kami menikmati keindahan yang teduh, kami harus segera melanjutkan perjalanan karena target hari ini belum terpenuhi. Target hari ini adalah Kali Putih. Tapi jarak yang ditempuh sangat jauh dan tidak sesuai dengan rencana operasional. Akhirnya kami mendirikan camp pada koordinat 4155.0085 yang berupa sebuah dataran yang cukup luas memuat dua tenda kami di punggungan Taman Kering. Kami bertemu dengan penduduk pencari burung yang baru turun dari puncak. Mereka mengabarkan bahwa puncak dapat ditempuh selama 3 jam perjalanan naik dan 1 jam perjalanan turun. Tetapi kami putuskan perjalanan tetap sesuai rencana operasional dengan melewati jalur umum karena informasi kurang jelas mengenai puncak mana yang mereka daki dan keadaan jalur yang masih samar. 

 Jumat, 22 Juli 2011 
 Kami memulai perjalanan pada pukul 07.25 dengan melipir punggungan Taman Kering hingga ke wilayah saddle. Jalur menuju Kali Putih cukup panjang dan relatif datar dengan melipir punggungan beberapa puncakan di sebelah kiri. Jalurnya kering dan berdebu sehingga harus hati-hati dalam melangkah supaya orang yang dibelakang tidak terkena debu. Tetapi pemandangannya sangat indah dengan puncakan-puncakan bervegetasi rumput dan cemara di kiri kanan jalur.
. Kali Putih merupakan tempat camp yang cukup luas. Kami mengambil air di sungai kecil. Sementara di pucuk-pucuk pohon beberapa ekor monyet asyik berlompatan dan berasyik masyuk. Perjalanan kami selanjutnya sangat panjang. Hutan-hutan gunung membentang di sepajang jalan, disambung dengan padang savana Alun-Alun Besar sebelum pos Cisentor yang sangat luas. Pemandangan Gunung Argopuro sangat menakjubkan, mampu mengalihkan rasa lelah kami yang tengah menempuh jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa. Flora dan fauna yang kami jumpai pun beragam. Burung-burung dan ayam hutan yang berbulu cantik kerap memamerkan keindahannya di hadapan kami. Selain itu, nilai plus Gunung Argopuro tidak pelit air. Air tersedia dengan melimpah di Danau Taman Hidup, Kali Putih, Cisentor, dan Rawa Embik. Di Cisentor kami bertemu dengan puluhan pendaki yang tengah melakukan pendakian massal yang baru turun dari puncak. Beberapa orang dari mereka adalah pendaki yang bertemu di kereta Logawa tempo hari. Mereka tidak jadi mendaki Semeru dan mengalihkannya ke Argopuro. Setelah melepas lelah cukup lama dengan mereka, kami pun melanjutkan perjalanan ke Rawa Embik karena masih cukup waktu dan Cisentor penuh oleh orang yang mau mendirikan camp. Jalur menuju Rawa Embik sama dengan jalur sebelumnya. Melewati hutan, savana yang luas, dan rerimbunan edelweiss berbunga lebat yang tumbuh menjulang. Bahkan tingginya ada yang sampai dua kali lipat tinggi badan kami. Rawa Embik berupa padang savana yang luas dan terdapat sungai kecil. Di bawah pohon cemara yang rindang kami mendirikan camp pada pukul 17.30. Temperatur di tempat camp dingin dengan suhu yang tercatat mencapai 10°C pada malam hari. 

Sabtu, 23 Juli 2011 
Target hari ini sangat panjang, yaitu Puncak Argopuro dan camp di Danau Taman Hidup. Jalur menuju puncak melewati padang savana Rawa Embik dengan trek datar dan masuk punggungan berhutan lebat dengan trek menanjak. Jalur kembali datar di savana persimpangan Puncak Argopuro – Puncak Rengganis. Barulah jalur terjal dan berbatu-batu sampai ke Puncak Argopuro.
Keadaan puncak berbeda dengan gunung berketinggian 3.000 m dpl lainnya. Tidak ada pelawangan dan vegetasinya masih lebat. Di puncak kami menghabiskan waktu cukup lama untuk berfoto dan coffee break. Dari atas puncak Danau Taman Hidup terlihat dengan jelas. Itu tujuan camp kami, sehingga pergerakan turun kami harus dipercepat. Di Rawa Embik tak jauh dari tempat camp kami terlihat seekor babi hutan yang besar melintas, berjalan lurus menuju hutan. Sejak kemarin tempat itu memang diduga terdapat banyak babi hutan tetapi semalam kami tidak menemukannya. Pukul 14.05 kami tiba di Cisentor, tempat kami melakukan ishoma hari itu. Di sana kami pun bertemu dengan rombongan pendaki yang kemarin bertemu di Danau Taman Hidup. Pukul 14.05 kami melanjutkan perjalanan dan mengambil persediaan air di Kali Putih. Hari semakin sore. Sinar matahari senja menyepuh wilayah saddle dengan warna kuning kemerahan. Dari kejauhan Gunung Lamongan dan Gunung Semeru mengintip di langit berwarna emas. Sungguh menakjubkan pemandangan sore itu! 

Minggu, 24 Juli 2011 
Danau Taman Hidup kali ini begitu cerah dan lebih indah daripada saat naik tempo hari. Bahkan merak yang cantik pun menunjukkan pesonanya pada kami. Di sana kami menghabiskan waktu cukup lama untuk berfoto dan melepas lelah. Di tengah perjalanan kami melakukan coffee break di sebuah dataran yang cukup luas. Untuk mencapai Pesanggrahan Bremi kami melewati jalur yang berbeda dari saat perjalanan naik yaitu berbelok ke arah kiri wilayah pertanian setelah perkebunan kapas. Cuaca saat itu sangat panas dan jalan terputus karena ada pembangunan jembatan. Kami pun turun ke bibir sungai dan menyeberang dengan jembatan bambu. Kami tiba di Pesanggrahan dan melakukan recovery. Arjuno-Welirang menanti!

Rabu, 13 September 2017

SEPENGGAL CATATAN DARI GUNUNG ARJUNO-WELIRANG

(Catatan Perjalanan 25-28 Juli 2011)
Gunung Arjuno (3.339 m dpl) adalah gunung api tua dan sudah tidak aktif, Sedangkan Gunung Welirang (3.156 m dpl), masih ada aktifitas yang ditunjukkan dengan adanya kawah belerang. Gunung Arjuno dan Gunung Welirang terletak pada satu gunung yang sama dan terletak dalam satu rangkaian dengan Gunung Anjasmoro dan Gunung Ringgit. Pada lembah-lembah diantaranya, terutama di lereng Gunung Arjuno dan Ringgit, terdapat puluhan peninggalan purbakala yang berserakan dan belum ditangani secara tuntas. Sebagian tertutup semak-belukar. Gunung Arjuno (atau Rajuna, nama kuno) terletak di Malang, Jawa Timur, bertype Strato dan berada di bawah Pengelolaan Tahura Raden Soeryo. Biasanya gunung ini dicapai dari tiga titik pendakian yang cukup dikenal yaitu dari Lawang, Tretes dan Batu. Gunung Arjuno dan Gunung Welirang terletak di Propinsi Jawa Timur Indonesia, Kedua gunung ini berada pada satu gugusan pegunungan. Untuk jalur pendakian ke puncak Arjuno dapat dimulai dari berbagai tempat, yaitu Tretes, Purwosari – Pasuruan, Wonosari - Lawang (Kebun Teh), dan Sumber Brantas (Jurang Kwali). Pendakian kami melalui jalur Jurang Kwali-Wonosari.(http://www.belantaraindonesia.in/2010/08/gunung-welirang-dan-gunung-arjuno.html) 

 Senin, 25 Juli 2011 
 Yeaaay! Gunung terakhir! Hari ini saya bersama keempat tim pengembaraan dari UPL MPA Unsoed Sigit, Hata, Fajar, dan Mas Dosso mendaki gunung ketiga dalam rangkaian pendakian kami menuju Gunung Arjuno-Welirang setelah mendaki Gunung Raung dan Gunung Argopuro. Pukul 08.30 kami berangkat menuju Terminal Lama Probolinggo dengan bus Akas, satu-satunya bus jurusan Bremi – Probolinggo yang biasa mangkal tepat di samping Pesanggrahan. Dari Terminal Lama kami naik angkot sampai Terminal Bayu Angga Probolinggo. Dari terminal naik bus jurusan Malang sampai Karanglo. Dari Karanglo naik angkot warna oranye menuju pasar Karang Ploso. Di sana seperti biasa saya dengan ditemani Hata bertugas berbelanja keperluan logistik untuk pendakian nanti. Dari Karang Ploso naik angkot lagi sampai Pertigaan Batu-Selecta. Kami menyewa angkot sampai Jurang Kwali, tetapi tarifnya mahal jika dibanding dengan tarif asli yang ditempel di pintu angkot. Itulah karena kami tidak tahu. Di sepanjang jalan pemandangan yang kami lihat sangat indah. Perkebunan apel Malang yang diselingi lahan pertanian palawija terhampar luas di kaki pegunungan yang tampak biru megah di kejauhan. Di Jurang Kwali kami sempat berputar-putar karena alur perizinan yang tidak jelas. Sampai akhirnya kami tiba di pemandian air panas Cangar untuk mengurus izin dan membeli tiket masuk. Di sana kami bertemu dengan anak Mapala yang memberitahu kami mengenai basecamp pendakian. Gunung Arjuno-Welirang jalur Sumber Brantas tidak ada basecamp khusus, tetapi biasa menginap di Warung Makan Bu Sutami di Jurang Kwali. Akhirnya pada pukul 17.00 kami tiba di Warung Makan Bu Sutami. Di sana kami menginap semalam dan packing logistik. Beban yang akan kami bawa besok lebih berat dari pendakian sebelumnya karena semua barang akan dibawa melintas. Air pun direncanakan akan mengambil dari bawah karena sepanjang jalur pendakian Arjuno-Welirang-Lawang tidak ada sumber air. 

Selasa, 26 Juli 2011 
 Tepat pukul 06.00 kami meninggalkan Warung Makan Bu Sutami menuju sumber air terakhir. Jalan menuju sumber air melewati areal pertanian berupa wortel dan kentang. Jalur yang ditempuh cukup membingungkan karena banyak persimpangan. Kami pun sempat berputar-putar cukup lama. Pada pukul 08.30 kami mengambil air di tandon dan sarapan pagi sebuah gubuk sampai pukul 10.50. Saat kami memulai perjalanan,matahari sudah bersinar terik terutama di areal pertanian kentang. Jalur yang ditempuh relatif landai dan sesekali menanjak saat masuk punggungan baru.
Pukul 12.50 kami tiba di Persimpangan Gunung Arjuno-Welirang dan melakukan coffee break sampai pukul 14.00. Di sana pun kami menyimpan cadangan air yang dibawa saya dan Fajar. Jalur menuju Puncak Welirang relatif terjal dan banyak pohon tumbang. Kami pun sempat tersesat di punggungan G.Kembar 1 karena jalurnya kurang jelas. Jalur melebar dan terdiri dari batu-batu putih di jalur penambang belerang. Pergerakan kami tidak begitu cepat karena Hata yang hari itu berulangtahun kelelahan. Saya sudah merasakannya di gunung pertama (G. Raung), sekarang giliran kau, Bung!
Di plawangan carrier kami ditinggal untuk mempercepat pergerakan dan hanya punya Fajar yang dibawa. Untuk mendaki Puncak Welirang disarankan memakai penutup hidung karena terdapat gas belerang yang dapat menyesakkan napas. Jalur menuju puncak berbatu-batu labil dan harus hati-hati. Pukul 17.25 kami sampai di Puncak Welirang, puncak ketiga kami. Sunset di puncak ini sungguh menakjubkan!
Di puncak kami hanya menghabiskan waktu 15 menit untuk berfoto karena hari sudah hampir malam dan berbahaya jika berlama-lama di puncak. Pukul 17.40 kami turun dan mendirikan camp di Pos Batu Besar pada koordinat 07° 44’01”LS dan 112° 34’24”BT. 

 Rabu, 27 Juli 2011 
Hari ini adalah operasional menuju Puncak Arjuno. Kami mulai berjalan dari pukul 08.00 menuju Persimpangan Gunung Arjuno-Welirang. Di perjalanan kami bertemu dengan penambang belerang. Dari persimpangan mengambil jalan yang menanjak ke arah kiri. Di antara rerumput ilalang dan pohon-pohon cemara terdapat sumber uap panas (fumarole) di beberapa tempat. Jalan landai begitu masuk savana, lalu melipir punggungan G.Kembar II. Pemandangan menuju Gunung Arjuno sangat indah, hampir sama dengan keadaan vegetasi di Gunung Argopuro. Edelweiss, rosseberry, dan rumput tumbuh subur di antara cemara-cemara yang menjulang.
Setelah melintas padang rumput, jalan menanjak di punggungan baru yang menuju puncak. Di salah satu dataran yang cukup luas kami melakukan ishoma pada pukul 12.25. Pukul 14.25 kami melanjutkan perjalanan. Dari tempat ishoma, Puncak Arjuno sudah terlihat tapi jalur yang ditempuh masih panjang dan bercuaca panas. Pada pukul 15.15 kami tiba di Tugu Perbatasan Malang-Pasuruan. Kaki kanan di Malang, kaki kiri di Pasuruan. Sakti, kan? Akhirnya, pada pukul 15.30 kami tiba di Puncak Arjuno, puncak terakhir dalam operasional pengembaraan. Spanduk pengembaraan dan panji UPL MPA kembali terbentang di puncak gunung. Selembar merah putih besar yang berkibar-kibar menyambut kedatangan kami. Dengan berpegangan tangan kami berdiri di puncak itu, mengungkapkan rasa bahagia dan syukur kami. Alhamdulillah, Allah memberikan kami kekuatan untuk menyelesaikan pengembaraan ini.
Tak lama di puncak, kami segera turun menuju jalur Lawang. Di sekitar puncak terdapat empat tugu memorial. Setelah itu jalur terjal dengan vegetasi centigi, edelweiss, dan paku-pakuan. Pukul 16.50 tiba di pertigaan jalur Lawang dan jalur Purwosari. Kami putuskan untuk memaksimalkan pergerakan sebelum hari gelap. Akhirnya pada pukul 17.45 kami melakukan camp pada koordinat 07° 46’58”LS dan 112° 36’36”BT.
Rabu, 28 Juli 2011 
 Pukul 08.15 kami memulai perjalanan turun. Target hari ini adalah turun ke Pos Izin Pendaki di Desa Wonorejo Lawang dan menuju ke Surabaya. Jalur turun tidak begitu terjal, melewati hutan dan savana.Kejadian saat di Gunung Raung terjadi lagi. Kami kekurangan air karena kurang kontrol pemakaian. Di sepanjang perjalanan, di kejauhan Gunung Semeru tampak mengintip di antara awan-awan tebal. Pukul 09.00 kami tiba di Shelter III (Pos Mahapena). Di sana kami break selama 15 menit sembari menikmati pemandangan menakjubkan di arah timur. Bukit-bukit bervegetasi rumput dan cemara begitu cerah bermandikan cahaya matahari. Gunung Semeru tampak mempertunjukkan pemandangan yang luar biasa, menyemburkan asap tebal ke langit yang sedang biru-birunya.
Jalur setelah Pos Mahapena cukup licin dan tertutup semak dan rerumputan, lalu masuk padang rumput yang sangat luas yang dikenal dengan nama Oro-Oro Ombo. Cuaca di Oro-Oro Ombo sangat terik, ditambah lagi dengan persediaan air yang sangat sedikit. Pemandangan di Oro-Oro Ombo begitu indah. Rumput-rumput yang hijau kekuningan, bunga-bunga putih, tampak memesona dipadu dengan hamparan awan putih yang berarak di bawah kami. Setelah Oro-Oro Ombo tiba di Shelter II (Pos Lincing). Di sini terdapat bangunan kayu yang dapat dimanfaatkan untuk bermalam. Dari Pos Lincing jalan lebar, kering, dan panjang. Terdapat pohon-pohon sengon kecil yang baru ditanam, saliara, rumput gajah, dan pisang. Pukul 11.40 tiba di perkebunan teh. Dari bangunan tempat pengumpulan teh mengambil jalan ke arah kiri, lalu masuk jalan setapak di tengah perkebunan teh untuk mempercepat menuju Desa Wonorejo. Jalan menuju desa sangat jauh, sementara kerongkongan kami sudah terasa kering kehausan. Akhirnya pada pukul 12.50 kami tiba di Pos Izin Pendaki Desa Wonorejo Lawang. Di sana kami bersih-bersih, masak, dan yang paling penting minum sampai puas. Setelah selesai beraktivitas, kami berangkat menuju Stasiun Lawang pada pukul 16.25 dengan menggunkan ojek, bonceng tiga dengan membayar Rp. 7.500,00/motor. Di Stasiun Lawang menunggu kereta komuter jurusan Stasiun Gubeng Surabaya sampai pukul 19.30. Pukul 21.00 kami tiba di Stasiun Gubeng dengan disambut live music. Sungguh perjalanan yang sangat mengesankan. It’s unforgettable moment!

Minggu, 10 September 2017

MENGINTIP PESONA GUNUNG RAUNG JALUR SUMBER WRINGIN

(Catatan Perjalanan Tanggal 17-19 Juli 2011)
Gunung Raung adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Banyuwangi. Gunung dengan ketinggian 3.332 m.dpl ini mempunyai kaldera dengan kedalaman 500 meter, selalu berasap dan sering menyemburkan api. Gunung Raung termasuk gunung berapi yang masih aktif dengan kaldera di puncaknya dan dikelilingi oleh banyak puncak kecil. Menurut catatan letusan terdahsyat terjadi pada tahun 1638. Gunung stratovolcano ini secara geografis terletak di Kabupaten Banyuwangi, Jember dan Bondowoso, secara astronomis terletak pada 08° LU-07° LS dan 114° BB-021°BT.

Minggu, 17 Juli 2011 
Pada tanggal 17 Juli 2011 tim pengembaraan mountaineering UPL MPA Unsoed angkatan Tapak Jagat-Lintang Jagat melakukan pendakian ke Gunung Raung jalur Sumber Wringin, gunung pertama dari 3 gunung yang akan kami daki dalam pengembaraan ini. Tim mountaineering terdiri dari 5 orang, saya Yulia Andriani (Sastra Indonesia), Sigit P. Jatmiko (Teknik Geologi), Hata Indarmawan (Peternakan), Fajar T. Purnama (Keperawatan), dan pendamping kami Mas Dosso (Biologi). Tim memulai pergerakan pada pukul 06.15. Dari Pesanggrahan kami harus berjalan kaki menuju Pondok Motor karena tidak ada truk atau colt pengangkut hasil panen yang lewat. Menurut petunjuk jalur pendakian Gunung Raung yang diberikan Bu Endang, pengelola Pesanggrahan, jarak yang ditempuh ke Pondok Motor sejauh 7 km berupa jalan raya yang disambung dengan jalan makadam. Cukup menguras tenaga untuk operasional gunung pendakian pertama. Sepanjang 7 km itu kami melewati perkebunan tebu yang luas, disambung dengan perkebunan pinus, dan kopi. Ternyata tanah lereng Gunung Raung yang miskin air itu bagus untuk pertanian labu siam. Kebetulan saat itu petani labu siam sedang panen. Harga perbuahnya lumayan, Rp 500 – Rp 1000/buah. Salah satu fenomena budaya unik yang kami jumpai di sana adalah dari segi bahasa yang mereka gunakan. Penduduk lereng Gunung Raung mayoritas suku Madura. Tetapi menurut informasi, bahasa yang mereka gunakan berbeda dengan bahasa Madura asli meski dialeknya sama. Cukup menjadi hiburan bagi kami karena baru kali ini mendengar secara langsung penutur asli bahasa Madura, apalagi Mas Doso pandai meniru dialek mereka. Setelah memasuki jalan setapak di sekitar perkebunan kopi kami kebingungan karena banyaknya percabangan jalur sehingga kami pun tersesat cukup jauh dengan mengambil jalan ke arah kiri yang menuju ke Gunung Suket. Setelah melakukan orientasi medan dan bertemu dengan penduduk, kami pun kembali ke arah yang benar. Menurut informasi dari penduduk yang bertemu dengan kami, Pondok Motor sudah tidak ada gubuknya sepeninggal Mbah Serani (Penjaga Pondok Motor) dan tidak ada sumber air. Padahal menurut referensi ada air di Pondok Motor. Kemudian terpaksa kami minta pertolongan kepada Penduduk untuk mengambilkan air di Desa dengan imbalan Rp 20.000,00. Di sepanjang jalur yang kami tempuh banyak terdapat dataran yang cukup luas yang kami sangka sebagai pos. Kami rasa telah hari pertama telah mencapai beberapa pos, tetapi kami keliru. Pukul 16.00 membuat outdoor camp pertama kami di koordinat ( 08° 03’58” LS. 114° 02’26” BT ). 

 Senin, 18 Juli 2011 
Wah, operasional kali ini molor dari waktu yang telah dikoordinasikan. Kami mulai berjalan pada pukul 07.45. Pondok Sumur yang kami cari-cari dari kemarin ternyata hanya ditempuh selama 5 menit dari tempat camp. Di pos ini terdapat botol air mineral bekas sebagai tempat penampungan air, tetapi isinya hanya sedikit. Perjalanan hari ini terasa sangat panjang dengan target Bibir Kawah Gunung Raung dan kembali lagi ke tempat camp. Apalagi saya terkena mountain sickness sehingga pergerakan kami diperlambat. Sedih sekali, saya tidak begitu memperhatikan keadaan sekitar. Padahal pemandangannya luar biasa indah.
Pemandangan yang terhampar di sepanjang perjalanan sangat indah. Pohon-pohon cemara menjulang di antara kabut-kabut tipis yang melayang perlahan. Bunga-bunga teklan, edelweiss putih, dan buah-buah arbei hutan yang merah segar seakan berlomba memamerkan kecantikannya pada kami. Rerumput dan semak yang bergoyang tertiup angin seolah tengah menari, dan burung-burung bercericit mengucap selamat datang dengan ramah pada kami. Di Pondok Angin kami melakukan ishoma dengan menu kacang ijo, susu, dan agar-agar. Pondok Angin tidak seindah pemandangan di tempat lain. Keadaannya gersang dan terdapat bekas kebakaran yang baru.
Di Memorial Deden Hidayat atau Plawangan Gunung Raung kami bertemu dengan beberapa orang penduduk yang baru turun dari puncak Raung. Perjalanan menuju bibir kawah memakan waktu 1 jam. Jalurnya berbatu-batu padat dan berbahaya. Di kiri kanan terdapat jurang-jurang yang dalam, sementara kami berjalan di atas punggungan selebar 30 cm. Untung saat itu tidak ada angin kencang. Menjelang bibir kawah jalur terjal dan berbatu rapuh. Kami harus ekstra hati-hati, apalagi dengan membawa beban carrier yang berat. Akhirnya kami pun tiba di puncak pertama dalam operasional pengembaraan. Spanduk pengembaraan yang panjang, panji UPL MPA, dan bendera merah putih pun berkibar. Di bibir kawah kami hanya menghabiskan waktu 30 menit karena hari sudah mulai sore, cuaca berkabut, berangin cukup kencang, dan dua orang muntah-muntah di puncak. Kami terpaksa melakukan perjalanan malam menuju tempat camp karena kami menyimpan cadangan air di sana.
Selasa, 19 Juli 2011 
Pagi ini Sigit pergi ke Pondok Sumur untuk mengambil air di penampungan karena persediaan kami hampir habis karena semalam kurang kontrol penggunaan air. Tetapi hanya mendapat satu vedples kecil air. Akhirnya pengontrolan penggunaan air diambil alih pendamping. Pergerakan turun kami pun dipercepat karena cuaca semakin panas. Untuk menambah asupan air yang kurang kami melakukan survival dengan makan umbi paku-pakuan yang diambil pendamping dari sekitar tempat camp. Rasanya agak pahit dan kelat, tetapi cukup menyegarkan karena kandungan airnya banyak. Tetapi rasa pahitnya tertolong oleh agar-agar rasa melon yang potong kecil-kecil. Di perjalanan kami bertemu dengan para pencari obat-obatan dan penduduk yang lalu-lalang dengan sepeda motor di jalur pendakian. Kami tiba di Pondok Motor pukul 09.50 dan bertemu dengan colt pengangkut labu siam. Di pertigaan jalan makadam kami melakukan coffee break. Cadangan air terakhir kami disulap menjadi minuman segar campuran susu dengan agar-agar. Perjalanan ke Pesanggrahan sama nasibnya dengan perjalanan hari pertama pendakian kami, tidak mendapatkan tumpangan. Kami pun berjalan lagi sejauh 7 km tetapi waktu tempuhnya lebih cepat. Cuaca saat itu sangat panas dan jalan berdebu. Pukul 11.15 kami tiba di rumah pertama Dusun Legand untuk mengambil air. Beberapa teguk air mentah yang diperoleh dari sumber air salah satu rumah penduduk melegakan tenggorokan kering kami. Cuaca terasa sangat panas di sepanjang jalan raya menuju Pesanggrahan. Tanah yang gersang, perkebunan tebu yang luas, anak-anak SD yang berlarian dengan layang-layang di tangan mereka, bangunan SD yang kumuh dan kering, menjadi serangkaian cerita di benak kami. Bapak-bapak yang ramah memberi kami beberapa batang tebu, cukup mengobati rasa haus yang selalu saja terasa. Akhirnya, pukul 12.15 kami tiba di Pesanggarahan. Di sana kami melakukan recovery, bersih-bersih, dan jalan-jalan di sekitar Pesanggrahan, sekaligus mempersiapkan fisik kami untuk melanjutkan perjalanan menuju gunung berikutnya.