Minggu, 10 September 2017

MENGINTIP PESONA GUNUNG RAUNG JALUR SUMBER WRINGIN

(Catatan Perjalanan Tanggal 17-19 Juli 2011)
Gunung Raung adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Banyuwangi. Gunung dengan ketinggian 3.332 m.dpl ini mempunyai kaldera dengan kedalaman 500 meter, selalu berasap dan sering menyemburkan api. Gunung Raung termasuk gunung berapi yang masih aktif dengan kaldera di puncaknya dan dikelilingi oleh banyak puncak kecil. Menurut catatan letusan terdahsyat terjadi pada tahun 1638. Gunung stratovolcano ini secara geografis terletak di Kabupaten Banyuwangi, Jember dan Bondowoso, secara astronomis terletak pada 08° LU-07° LS dan 114° BB-021°BT.

Minggu, 17 Juli 2011 
Pada tanggal 17 Juli 2011 tim pengembaraan mountaineering UPL MPA Unsoed angkatan Tapak Jagat-Lintang Jagat melakukan pendakian ke Gunung Raung jalur Sumber Wringin, gunung pertama dari 3 gunung yang akan kami daki dalam pengembaraan ini. Tim mountaineering terdiri dari 5 orang, saya Yulia Andriani (Sastra Indonesia), Sigit P. Jatmiko (Teknik Geologi), Hata Indarmawan (Peternakan), Fajar T. Purnama (Keperawatan), dan pendamping kami Mas Dosso (Biologi). Tim memulai pergerakan pada pukul 06.15. Dari Pesanggrahan kami harus berjalan kaki menuju Pondok Motor karena tidak ada truk atau colt pengangkut hasil panen yang lewat. Menurut petunjuk jalur pendakian Gunung Raung yang diberikan Bu Endang, pengelola Pesanggrahan, jarak yang ditempuh ke Pondok Motor sejauh 7 km berupa jalan raya yang disambung dengan jalan makadam. Cukup menguras tenaga untuk operasional gunung pendakian pertama. Sepanjang 7 km itu kami melewati perkebunan tebu yang luas, disambung dengan perkebunan pinus, dan kopi. Ternyata tanah lereng Gunung Raung yang miskin air itu bagus untuk pertanian labu siam. Kebetulan saat itu petani labu siam sedang panen. Harga perbuahnya lumayan, Rp 500 – Rp 1000/buah. Salah satu fenomena budaya unik yang kami jumpai di sana adalah dari segi bahasa yang mereka gunakan. Penduduk lereng Gunung Raung mayoritas suku Madura. Tetapi menurut informasi, bahasa yang mereka gunakan berbeda dengan bahasa Madura asli meski dialeknya sama. Cukup menjadi hiburan bagi kami karena baru kali ini mendengar secara langsung penutur asli bahasa Madura, apalagi Mas Doso pandai meniru dialek mereka. Setelah memasuki jalan setapak di sekitar perkebunan kopi kami kebingungan karena banyaknya percabangan jalur sehingga kami pun tersesat cukup jauh dengan mengambil jalan ke arah kiri yang menuju ke Gunung Suket. Setelah melakukan orientasi medan dan bertemu dengan penduduk, kami pun kembali ke arah yang benar. Menurut informasi dari penduduk yang bertemu dengan kami, Pondok Motor sudah tidak ada gubuknya sepeninggal Mbah Serani (Penjaga Pondok Motor) dan tidak ada sumber air. Padahal menurut referensi ada air di Pondok Motor. Kemudian terpaksa kami minta pertolongan kepada Penduduk untuk mengambilkan air di Desa dengan imbalan Rp 20.000,00. Di sepanjang jalur yang kami tempuh banyak terdapat dataran yang cukup luas yang kami sangka sebagai pos. Kami rasa telah hari pertama telah mencapai beberapa pos, tetapi kami keliru. Pukul 16.00 membuat outdoor camp pertama kami di koordinat ( 08° 03’58” LS. 114° 02’26” BT ). 

 Senin, 18 Juli 2011 
Wah, operasional kali ini molor dari waktu yang telah dikoordinasikan. Kami mulai berjalan pada pukul 07.45. Pondok Sumur yang kami cari-cari dari kemarin ternyata hanya ditempuh selama 5 menit dari tempat camp. Di pos ini terdapat botol air mineral bekas sebagai tempat penampungan air, tetapi isinya hanya sedikit. Perjalanan hari ini terasa sangat panjang dengan target Bibir Kawah Gunung Raung dan kembali lagi ke tempat camp. Apalagi saya terkena mountain sickness sehingga pergerakan kami diperlambat. Sedih sekali, saya tidak begitu memperhatikan keadaan sekitar. Padahal pemandangannya luar biasa indah.
Pemandangan yang terhampar di sepanjang perjalanan sangat indah. Pohon-pohon cemara menjulang di antara kabut-kabut tipis yang melayang perlahan. Bunga-bunga teklan, edelweiss putih, dan buah-buah arbei hutan yang merah segar seakan berlomba memamerkan kecantikannya pada kami. Rerumput dan semak yang bergoyang tertiup angin seolah tengah menari, dan burung-burung bercericit mengucap selamat datang dengan ramah pada kami. Di Pondok Angin kami melakukan ishoma dengan menu kacang ijo, susu, dan agar-agar. Pondok Angin tidak seindah pemandangan di tempat lain. Keadaannya gersang dan terdapat bekas kebakaran yang baru.
Di Memorial Deden Hidayat atau Plawangan Gunung Raung kami bertemu dengan beberapa orang penduduk yang baru turun dari puncak Raung. Perjalanan menuju bibir kawah memakan waktu 1 jam. Jalurnya berbatu-batu padat dan berbahaya. Di kiri kanan terdapat jurang-jurang yang dalam, sementara kami berjalan di atas punggungan selebar 30 cm. Untung saat itu tidak ada angin kencang. Menjelang bibir kawah jalur terjal dan berbatu rapuh. Kami harus ekstra hati-hati, apalagi dengan membawa beban carrier yang berat. Akhirnya kami pun tiba di puncak pertama dalam operasional pengembaraan. Spanduk pengembaraan yang panjang, panji UPL MPA, dan bendera merah putih pun berkibar. Di bibir kawah kami hanya menghabiskan waktu 30 menit karena hari sudah mulai sore, cuaca berkabut, berangin cukup kencang, dan dua orang muntah-muntah di puncak. Kami terpaksa melakukan perjalanan malam menuju tempat camp karena kami menyimpan cadangan air di sana.
Selasa, 19 Juli 2011 
Pagi ini Sigit pergi ke Pondok Sumur untuk mengambil air di penampungan karena persediaan kami hampir habis karena semalam kurang kontrol penggunaan air. Tetapi hanya mendapat satu vedples kecil air. Akhirnya pengontrolan penggunaan air diambil alih pendamping. Pergerakan turun kami pun dipercepat karena cuaca semakin panas. Untuk menambah asupan air yang kurang kami melakukan survival dengan makan umbi paku-pakuan yang diambil pendamping dari sekitar tempat camp. Rasanya agak pahit dan kelat, tetapi cukup menyegarkan karena kandungan airnya banyak. Tetapi rasa pahitnya tertolong oleh agar-agar rasa melon yang potong kecil-kecil. Di perjalanan kami bertemu dengan para pencari obat-obatan dan penduduk yang lalu-lalang dengan sepeda motor di jalur pendakian. Kami tiba di Pondok Motor pukul 09.50 dan bertemu dengan colt pengangkut labu siam. Di pertigaan jalan makadam kami melakukan coffee break. Cadangan air terakhir kami disulap menjadi minuman segar campuran susu dengan agar-agar. Perjalanan ke Pesanggrahan sama nasibnya dengan perjalanan hari pertama pendakian kami, tidak mendapatkan tumpangan. Kami pun berjalan lagi sejauh 7 km tetapi waktu tempuhnya lebih cepat. Cuaca saat itu sangat panas dan jalan berdebu. Pukul 11.15 kami tiba di rumah pertama Dusun Legand untuk mengambil air. Beberapa teguk air mentah yang diperoleh dari sumber air salah satu rumah penduduk melegakan tenggorokan kering kami. Cuaca terasa sangat panas di sepanjang jalan raya menuju Pesanggrahan. Tanah yang gersang, perkebunan tebu yang luas, anak-anak SD yang berlarian dengan layang-layang di tangan mereka, bangunan SD yang kumuh dan kering, menjadi serangkaian cerita di benak kami. Bapak-bapak yang ramah memberi kami beberapa batang tebu, cukup mengobati rasa haus yang selalu saja terasa. Akhirnya, pukul 12.15 kami tiba di Pesanggarahan. Di sana kami melakukan recovery, bersih-bersih, dan jalan-jalan di sekitar Pesanggrahan, sekaligus mempersiapkan fisik kami untuk melanjutkan perjalanan menuju gunung berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar